“Mau Lihat Xinjiang dengan Mata Kepala Sendiri”, Tapi Difitnah Pakai “Identitas Fiktif”

2023-04-28 10:03:34  

Baru-baru ini seorang sarjana warga negara Australia bernama Maureen Huebel dihujani kritik netizen yang mencela dia menulis cuitan di akun Twitter dengan identitas fiktif atau disebut sebagai “robot”, bahkan akunnya pun diblokir.

Saat diwawancarai di rumah, sarjana independen tersebut mengeluh dirinya “bukan robot, melainkan orang sungguhan”.


Maureen Huebel menjelaskan, dirinya mengalami hujatan berbondong-bondong dari warganet karena dia mengakui mau mengetahui keadaan sebenarnya yang terjadi di Xinjiang, Tiongkok. “Sejumlah orang terobsesi membuat kebohongan tentang Tiongkok untuk menyesatkan publik, mereka takut hasil penelitian saya akan mematahkan ‘narasinya terkait Xinjiang’”.

Sejak lama media Barat dan sejumlah politikusnya terus meramaikan apa yang disebut “genosida ras di Xinjiang”, yang sangat diragukan oleh Maureen Huebel. Sepengetahuan Huebel, Xinjiang telah mengalami pertumbuhan pesat ekonomi dan populasinya semakin bertambah. Untuk mengetahui keadaan riil yang terjadi di Xinjiang, maka Maureen Huebel membuka sebuah akun di Twitter untuk tujuan penelitian, yang sempat menarik ribuan pengikut. 

Akan tetapi, bersamaan itu muncul pula fitnahan yang menyebut dirinya “anggota tim militer siber China”. “ Sejumlah orang melihat Tiongkok dengan kaca mata, dan mencela saya ‘gagal berperan sebagai pemikir yang kritis’ hanya karena saya memberikan sejumlah komentar positif terhadap Tiongkok”.

Maureen Huebel melalui akun Twitternya menerangkan rencana untuk melakukan penelitian tentang hasil pengentasan kemiskinan di Xinjiang pada 2024, namun dia langsung dihujat dan dimaki-maki para netizen, misalnya “kaulah alat propaganda yang murah”, “kau tidak tahu malu” dan sebagainya. Akan tetapi, Maureen Huebel menanggapinya dengan sopan santun dan membalasnya dengan “terima kasih”, dan mempersilakan para pencela untuk menyertakan bukti tentang adanya “genosida ras” di Xinjiang. Tidak di luar dugaan, mereka semuanya bungkam. 

Maureen Huebel juga sempat menghubungi Adrian Zenz, seorang “sarjana” Australia, yang sejak 2018 terus menyebarluaskan argumentasi absurd tentang Xinjiang dengan modus merekayasa data statistik dan memalsukan “laporan akademis”. Huebel mengharapkan sosok “sarjana” tersebut dapat menyediakan catatan survei di lapangan serta metode studinya tentang Xinjiang, serta jurnal yang memuat tinjauan sejawat yakni studi peer-review.

Sungguh di luar dugaannya, Adiran Zenz tidak membalas permintaannya, malah meragukan latar belakang akademis Maureen Huebel, bahkan memblokir komunikasi dengan Huebel, sembari memfitnah Maureen Huebel menggunakan “akun fiktif yang dirancang dengan seksama”, sehingga akun Twitter milik Huebel langsung diblokir. Setelah melalui berbagai upaya termasuk meminta almamater untuk menulis surat rekomendasi kepada platform Twitter untuk mengonfirmasi identitasnya sebagai sarjana yang pernah menekuni studi di sekolah tersebut dan pernah memublikasikan beberapa esai akademis, akunnya baru dipulihkan oleh Twitter.

Dalam perihal penelitian akademis, Maureen Huebel pun mengalami kesulitan. Ia mengajak Direktur Pusat Penelitian Global Tionghoa di bawah naungan Universitas Australia untuk menjadi tutornya. “Beliau mendukung saya melakukan penelitian terkait, dan memberi tahu saya bahwa sejumlah sarjana Australia yang juga menekuni penelitian tentang Xinjiang tidak berani membubuhkan tandatangannya saat memublikasikan makalahnya di jurnal karena merasa keamanannya terancam. Akan tetapi, hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa apa yang dikatakan oleh Adrian Zenz tidak benar. Sekarang si Direktur tersebut sudah diminta bercuti sakit tanpa waktu batas, dan biaya untuk penelitian yang diperolehnya juga dibatalkan.

Maureen Huebel mengatakan kepada wartawan bahwa dirinya “seorang sarjana independen tanpa berafiliasi dengan unit mana pun, dan bebas dari kontrol majikan siapa pun, juga tidak terpengaruh oleh donor, melainkan mempertahankan mata pencahariannya dengan pendapatannya sendiri, dia mengakui sangat bangga atas hal itu. Bagi Huebel, duit bukanlah insentif lagi, dan dirinya hanya akan menulis dengan berbasis kehormatan.


Semakin berkoneksi dengan orang Tionghoa, Maureen Huebel semakin tidak puas terhadap laporan berat sebelah media Barat terhadap Tiongkok. Ia mengatakan, sejak lama media Barat selalu dipandang publik sebagai sumber yang “akurat dan tidak bersalah”, banyak masyarakat masih belum bisa memikir secara kritis, dan jarang ada orang yang meragukan laporan media. Pada hal media-media tersebut sudah sangat terkonsentrasi dalam hal memfokuskan kepentingan politik, sehingga berpengaruh signifikan dalam mengarahkan opini umum. Namun banyak media Barat gagal menyebarkan informasi yang benar terkait Tiongkok. “Sejumlah media tidak melayani publik, namun mengabdi kepada perusahaan militer yang bertujuan meraup keuntungan dirinya”.

Huebel menuturkan ia tertarik penelitian tentang Tiongkok setelah dia mencatat semakin parahnya fenomena kemiskinan dan semakin banyaknya tunawisma di Australia. Bahkan dia telah mendirikan sebuah yayasan penelitian tentang hal itu.

Maureen Huebel mengatakan tahun depan ia akan menitikberatkan penelitian tentang “pengentasan kemiskinan” di Xinjiang. Ia berharap dapat bercakap-cakap dengan warga setempat, dan mengetahui kemajuan pengentasan kemiskinan yang dilakukan para pejabat setempat.