Direktur Kajian Strategis Institut Gentala, salah satu wadah pemikir Indonesia Christine Susanna Tjhin hari Minggu kemarin (21/5) dalam wawancaranya dengan wartawan CMG Departemen Bahasa Indonesia menyatakan, kecaman KTT G7 terhadap Tiongkok tidak dapat dipercaya. Dia menggambarkan KTT G7 yang baru berakhir itu sebagai ‘pemisahan dan pelepasan’.
“ ‘Pemisahan’ adalah gagasan ‘NATO ekonomi’ yang diajukan oleh sejumlah politikus Amerika Serikat (AS) dan Inggris. Meskipun isi spesifik dari gagasan tersebut belum diungkapkan, namun informasi yang tersembunyi di dalamnya berkaitan dengan kekhawatiran mereka terhadap daya pengaruh ekonomi Tiongkok. Akan tetapi, G7 tidak mencapai kesepakatan seputar isu tersebut. Nampaknya G7 masih tidak ingin menghadapi fakta bahwa sejumlah negara berkembang di luar kelompoknya sedang menetapkan tata tertib multipolarisasi yang baru,” tutur Christine.
Dia menunjukkan pula bahwa pengenaan sanksi dan pengendalian ekspor merupakan dua cara yang kerap kali digunakan oleh negara G7, Indonesia pun sempat diperlakukan tidak adil seperti itu. Kecaman mereka kepada Tiongkok tidak dapat dipercaya. Dia berpendapat bahwa G7 terus meningkatkan tindakan pengurangan risiko atau “de-risking” yang ditujukan kepada Tiongkok, hal tersebut telah meremehkan kerangka multilateral yang berlaku saat ini, dan tidak akan mencapai target yang diinginkannya.
KTT G7 kali ini juga mengundang sejumlah pemimpin dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia, agar negara-negara berkembang terkait dapat ikut melawan Tiongkok. Christine menunjukkan,
“Presiden RI Joko Widodo dalam pidato yang disampaikan di depan KTT tersebut mencurigai tujuan KTT G7, apakah KTT kali sungguh-sungguh ingin mendorong kesetaraan, koordinasi, inklusivitas dan saling pengertian global. Beliau pun menekankan bahwa dunia tidak perlu dipolarisasi, G7 hendaknya mendorong kerja sama setara yang substansial. Pidato tersebut mempunyai pandangan yang sama dengan pidato yang disampaikannya di depan KTT ASEAN pada bulan Mei lalu. Sebagai negara ketua bergilir ASEAN, Indonesia akan terus meningkatkan kedudukan ASEAN sebagai pusat pertumbuhan dan mekanisme berbasis ASEAN, serta berupaya bersama dengan semua mitra ASEAN. Sebagai mitra dialog pertama yang bergabung dalam Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara pada tahun 2003, kontribusi Tiongkok terhadap perdamaian dan kestabilan di kawasan sangat vital,” ujar Christine.