Tiongkok Bertindak Riil dalam Tangani Perubahan Iklim

2023-12-06 13:54:31  

“Saya menyaksikan ratusan ribu kincir angin, panel surya dan alat penyimpan energi, tenaga listrik disalurkan ke Beijing melalui kabel listrik yang dipasang tinggi. Upaya keras Tiongkok untuk menangani perubahan iklim sangat mengejutkan.” Baru-baru ini, pendiri sekaligus Presiden Yayasan George H. W. Bush untuk Amerika-Tiongkok, Neil Bush telah menjelaskan kepada wartawan keadaan yang dilihatnya di Gurun Gobi Tiongkok Barat Laut.

Terhitung sampai akhir September 2023, total tambahan kapasitas terpasang dan total kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga angin Tiongkok masing-masing menduduki nomor satu di dunia selama 14 tahun dan 13 tahun, pangsa pasar global telah melampaui 50 persen lebih. Dewasa ini, hampir separuh kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga surya fotovoltaik global berada di Tiongkok, separuh lebih mobil energi baru global berkendara di Tiongkok, dan seperempat luas tanah hijau tambahan global berasal dari Tiongkok.

Melalui data-data tersebut, kita dapat dengan mudah memahami mengapa kontribusi Tiongkok mendapat perhatian dari berbagai pihak dalam COP 28 Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB yang dibuka di Dubai belum lama lalu.

Sebagai negara berkembang terbesar di dunia, Tiongkok telah memainkan peranan sebagai pendorong utama bagi tercapai dan berhasilnya Perjanjian Paris, serta selalu berupaya demi pencapaian target jangka panjang. Tiongkok sudah mencantumkan penanganan perubahan iklim dalam strategi nasionalnya, untuk mengembangkan energi terbaru, mendirikan sistem kebijakan puncak karbon, netralitas karbon, dan kebijakan “1+N”, mendorong penyesuaian kembali struktur industri, energi, dan transportasi, serta mendirikan pasar karbon dengan skala emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Tahun 2022, emisi karbon dioksida Tiongkok menurun 51 persen daripada tahun 2005, dan konsumsi energi non fosil mencapai 17,5 persen. Selama 10 tahun ini, Tiongkok dengan laju pertumbuhan konsumsi energi sekitar 3 persen per tahun, telah mendukung 6,2 persen pertumbuhan ekonomi.

Sementara itu, Tiongkok juga aktif mendorong tata kelola iklim global, memberikan dukungan dan bantuan kepada negara berkembang lainnya melalui Kerja Sama Selatan-Selatan. Misalnya, Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik Garissa yang berkapasitas 50 megawatt yang dibangun perusahaan Tiongkok di Kenya, adalah PLTS terbesar di Afrika Timur dan telah beroperasi pada tahun 2019, ia dapat memenuhi kebutuhan listrik untuk 380 ribu orang dari 70 ribu keluarga, dan telah berhasil meringankan kesulitan penggunaan listrik setempat. Terhitung sampai akhir Juni tahun ini, Tiongkok total telah menandatangani 46 dokumen kerja sama Selatan-Selatan terkait perubahan iklim dengan 39 negara berkembang.

Mengapa Tiongkok menjadi pemrakarsa dan pelaku tata kelola perubahan iklim global? Hal ini bukan dituntut oleh pihak lain, namun dilakukan secara inisiatif oleh Tiongkok sendiri. Hal ini dikarenakan dalam kebudayaan tradisional Tionghoa, terdapat konsep “keharmonisan antar manusia dan alam”, juga karena menangani perubahan iklim merupakan tuntutan intern Tiongkok dalam melakukan pembangunan berkelanjutan. Salah satu ciri khas penting dari modernisasi ala Tiongkok adalah “kehidupan harmonis antara manusia dengan alam”, hal ini juga dikarenakan ini adalah kewajiban internasional yang harus ditunaikan oleh negara besar yang bertanggung jawab. Baru-baru ini, CEO Strategic Access AS, David Dodwell dalam artikelnya menunjukkan, dalam aspek aksi penanganan perubahan iklim, berbagai negara hendaknya banyak belajar dari pengalaman Tiongkok.

Sejujurnya, Tiongkok merupakan negara berkembang yang populasinya besar, sumber energinya relatif kurang, dan menghadapi banyak tantangan global dalam proses transformasi hijau dan inovasi, Tiongkok menyelesaikan proses industrialisasi hanya dengan waktu puluhan tahun lebih cepat dari negara Barat yang membutuhkan waktu ratusan tahun, sementara itu, Tiongkok juga akan menyelesaikan pengurangan intensitas emisi karbon tertinggi di dunia, dengan waktu terpendek mewujudkan perubahan dari puncak karbon ke netralitas karbon, tingkat kesulitannya di luar dugaan, dan memerlukan upaya yang sangat keras.

Tiongkok akan terus berupaya sekuat tenaga untuk menangani perubahan iklim global, akan tetapi untuk menghadapi tantangan tersebut, hanya berdasarkan upaya sejumlah kecil negara saja jauh tidak cukup, perlu melaksanakan multilateralisme, serta mempertahankan prinsip tanggung jawab bersama yang berbeda untuk melakukan kerja sama global. Khususnya negara maju, hendaknya memikul tanggung jawab sejarahnya, secara inisiatif mengurangi emisi, menyediakan dana, teknologi serta dukungan untuk aksi penanganan perubahan iklim negara berkembang.