Mengapa Mereka Membatalkan atau Menunda Rencana Membangun Pabrik di AS?

2023-12-26 11:15:29  

“Setelah melalui pertimbangan seksama, kami akan membatalkan rencana membangun pabrik baterai di Oklahoma, AS.” Itulah keputusan yang diambil oleh PT Panasonic yang merupakan salah satu pemasok sel utama otomotif Tesla.


Pada Januari lalu, sebuah perusahaan Korea Selatan yakni LG telah “tanpa batas waktu” menangguhkan rencana bekerja sama dengan General Motors untuk membangun pabrik sel di AS. Pada Juli lalu, TSMC sebagai manufaktur chip asal Taiwan mengumumkan akan menunda pengoperasian pabriknya di AS sampai 2025 dengan alasan kekurangan karyawan terampil. Pada bulan Oktober lalu, perusahaan Jepang yakni Honda mengumumkan mundur dari rencana kerja sama dengan General Motors AS untuk membuat mobil murah. Sementara itu, produsen mobil AS yakni Ford telah menunda produksi baterai dengan SK On asal Korsel di Kentucky. Ternyata sejumlah perusahaan papan atas telah berturut-turut membatalkan atau menunda rencana membangun pabrik di AS, pada hal pemerintah AS telah menggulirkan serangkaian kebijakan insentif dan menjanjikan subsidi dalam jumlah besar bagi para investor yang akan membangun pabrik di AS. Namun mengapa pasar telah memberikan jawaban sebaliknya?

Bagi sebuah perusahaan yang berencana membangun pabrik di negeri asing, sebelum mengambil keputusan, unsur pertama yang harus dipertimbangkan adalah pasar dan lingkungan makro di tempat tujuan investasi. Selain itu, harus dipertimbangkan pula sarana dan prasarana serta fasilitas pelengkap lainnya. 


Adapun biaya investasi di AS, menurut pihak Panasonic Jepang, ongkos yang harus ditanggung untuk membangun sebuah pabrik di Kansas AS lebih tinggi daripada prediksi, dan oleh karena itu ia sulit membangun pabrik baru di Oklahoma. CEO Panasonic, Toshihiro Mibe mengakui bahwa besaran biaya adalah salah satu faktor utama yang memaksa pihaknya membatalkan rencana membangun pabrik di AS. Mahalnya biaya tersebut mencerminkan keadaan riil rantai industri otomotif listrik di AS. Ada ahli yang menunjukkan, AS sangat mengandalkan impor dalam sektor penambangan dan pengolahan bahan mentah baterai, ditambah ongkos tinggi soal energi, penyewaan tanah dan perekrutan tenaga kerja, maka semua itu telah menambah beban belanja perusahaan. Bahkan TSMC sulit mempekerjakan karyawan terampil untuk memasang mesin yang diperlukan, hal ini mencerminkan kesulitan AS yang kekurangan tenaga kerja untuk industri manufaktur.

Adapun keuntungan dari investasi di AS juga tidak optimis. Perusahaan yang menanam modal di AS tentunya berharap bakal mendapat laba dalam jumlah besar dari pemasaran produknya. Akan tetapi, pada Oktober lalu, menurut Panasonic, permintaan pasar Amerika Utara terhadap mobil listrik kelas tinggi tengah menurun, oleh karena itu, pabrik sel mobilnya telah menurunkan prediksi labanya untuk tahun fiskal ini sebesar 15 persen.


Yang lebih penting ialah, bagi perusahaan yang menanam modal di AS, sudah pasti berharap akan memiliki lingkungan ekonomi dan bisnis makro yang stabil yang menguntungkan perkembangannya dalam jangka panjang, namun menurut media AS, negosiasi antara perusahaan LG Korsel dan General Motors AS sudah menemui jalan buntu, sebab para eksekutif senior LG khawatir terhadap prospek ekonomi makro AS pada masa depan. Belum lama yang lalu, Federal Reserve AS menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi AS sebesar 0,1 poin sampai 1,4 persen untuk 2024. Menurut sejumlah pakar, membubungnya utang luar negeri AS beserta inflasinya yang tinggi dan terus terjadinya mogok kerja sektor manufaktur telah sangat mempengaruhi keyakinan perusahaan terhadap lingkungan bisnis AS. Apalagi, mengingat kebijakan moneter AS kerap kali “membanting setir” dan faktor-faktor negatif lainnya seperti potensi terjadinya peristiwa politik di luar dugaan, maka tidak sedikit perusahaan sudah melepaskan niatnya untuk berkiprah di pasar AS.

Selain itu, pemerintah AS sudah terbiasa mempolitisasi topik ekonomi dengan memasang berbagai “pagar pembatas” dalam berbagai kebijakannya, sehingga telah sangat memukul keyakinan dan kegairahan para perusahaan. Misalnya dalam RUU Chips dan Sains AS ditetapkan bahwa perusahaan yang akan membangun pabrik di AS harus membuat pilihan eksklusif. Dalam RUU Reduksi Inflasi AS ditetapkan bahwa mulai 2024, mobil tenaga listrik yang dibuat di AS tidak boleh menggunakan komponen baterai buatan atau rakitan Tiongkok. Hal ini tak pelak akan menambah kesulitan lain lagi yang sulit diatasi bagi para produsen otomotif. Dewasa ini, sel mobil buatan Tiongkok meliputi separo lebih dari pengiriman pasar di seluruh dunia. Bahkan para produsen Tiongkok dapat memenuhi 90 persen permintaan pasar terhadap sebagian bahan mentah untuk pembuatan sel mobil. Itulah sebabnya sangat sulit untuk melakukan “decoupling” dengan Tiongkok. Baru-baru ini, ribuan agen dan diler mobil AS bersama melayangkan surat kepada pemerintah agar menghentikan rencana pengembangan otomotif tenaga listrik yang “radikal”.

Dari serangkaian respons tersebut, ternyata pasar sudah memberikan jawabannya yang tepat.