Perkembangan Ekonomi Tiongkok, Kaitannya dengan Ekonomi Indonesia dan Global

2023-12-28 15:03:05  

 

Sukron Makmun

(Intelektual muda NU, Wakil Sekjen PERHATI dan

Analis Geopolitik Internasional)

 

Sejak tahun 1980-an terjadi perpindahan kekayaan dari Amerika Serikat (AS) ke Tiongkok secara masif. Apple diciptakan di AS tapi diproduksi di Tiongkok. 90% kekayaan duni ada di tangan 1% orang, dan dari 1% tersebut, kebanyakan adalah warga AS. Ada ketidakseimbangan ekonomi di dunia.

Tapi yang terjadi saat ini adalah, di AS ada sekitar 40 juta orang yang hidup dalam kemiskinan. 18,5 juta hidup dalam kemiskinan ekstrem, dan 5,3 juta hidup dalam kondisi sebagaimana orang miskin di dunia ketiga, yaitu terjangkit kemiskinan absolut. Saat ini, bukan hal yang aneh jika semakin banyak warga AS yang tidur di trotoar dekat gedung-gedung pencakar langit atau gedung mewah di kota-kota besar. Apakah orang-orang kaya di AS berubah menjadi miskin? Tidak. Dalam tiga dekade terakhir, kekayaannya mereka justru meningkat dari 8,4 triliun dolar menjadi 29,5 triliun dolar. Tapi, karena mereka itulah, Tiongkok kejatuhan berkah. Tiongkok dapat memiliki devisa terbesar di dunia dan tingkat kelas menengah terbanyak di dunia.

Perang dagang yang pernah dicanangkan oleh Presiden Trump saat itu, tujuannya adalah untuk menarik kembali investasi perusahaan AS dari Tiongkok. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Kebijakan Trump tidak lantas membuat perusahaan AS hengkang dari Tiongkok. Kebijakan tarif justru membuat mata uang Yuan melemah dan daya saing Tiongkok semakin besar di pasar.

Memang, akibat perang dagang tersebut, banyak pabrik di Tiongkok tutup. Pasar dunia menyusut. Tapi Tiongkok dengan stimulus ekonomi lewat program modernisasi dan revitalisasi desa, memaksa para buruh yang terkena PHK kembali ke desa dengan kebijakan disparitas harga sangat mencolok antara kota dan desa. Apalagi teknologi 5G, dapat menghapus ketimpangan antara desa dan kota. Tiongkok menjadi pasar terbesar di dunia, dan membuat Tiongkok tidak lagi bergantung pada pasar dari luar negeri.

Saat ada wabah Covid-19, ada beberapa negara yang menyangka bahwa ekonomi Tiongkok akan limbung dan investor akan hengkang dari Tiongkok. Tapi yang terjadi adalah, dengan adanya wabah Covid-19 justru semakin memperkuat rasa percaya diri para investor. Mereka jadi tahu kalau Tiongkok memang piawai dalam menghadapi bencana nasional. Tidak ada riak politik yang menggoncang stabilitas. Justru persatuan semakin kokoh. Pada waktu yang sama, industri Tiongkok semakin efisien karena harga minyak turun saat itu, dan membuat investor AS semakin nyaman di Tiongkok.

Ke depan, ekonomi Tiongkok akan semakin tumbuh dan berkembang. Sebab Tiongkok memiliki supply chain yang terstruktur, canggih serta lentur. Hampir 90% supply chain industri di Tiongkok adalah usaha dalam negerinya sendiri. Maka untuk menghasilkan produk ekspor, belanja impornya sangat rendah. Pertumbuhan ekonomi berdampak positif pada ketahanan ekonomi nasional, karena cadangan devisanya terus meningkat. Tiongkok juga punya SDA (Sumber Daya Alam) yang beragam dan memiliki wilayah yang luas. Sumber daya tersebut dapat membuatnya semakin mudah menstimulus ekonomi rakyat yang berbasis SDA tanpa tergantung dengan pasar ekspor. Selain itu, populasi Tiongkok (SDM) sangat besar dan 50% lebih adalah produktif. Daya beli masyarakatnya mengalahkan pasar AS dan Eropa.

Sedangkan soal ekonomi Indonesia, terlihat menurun. Pada Oktober lalu inflasi inti Indonesia tercatat pada angka 1, 91% dibandingkan Oktober 2022 (year on year), terendah hampir dua tahun terakhir. Angka inflasi inti tersebut juga di bawah target Bank Indonesia (BI) yang dipatok di kisaran 2-4% tahun ini. Ekonomi Indonesia Triwulan III-2023 terhadap Triwulan III-2022 mengalami pertumbuhan sebesar 4, 94% (year on year). Di bawah target APBN. Ini menjadi indikasi bahwa mesin pertumbuhan dari konsumsi domestik telah melemah.

Selain itu, juga tercermin dari tingkat keyakinan konsumen Indonesia pada September yang turun menjadi 121, 7 terendah dalam 9 bulan terakhir. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang terdiri atas dua komponen yaitu Indeks Kondisi Ekonomi saat ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK). Dua indikator tersebut juga mencatat adanya penurunan. Artinya, daya beli rumah tangga sudah lemah. Orang terpaksa membatasi belanja karena harga naik sementara pendapatan tetap. Pasar tradisional sepi pembeli, dan banyak juga mall mulai sepi, pedagang banyak yang bangkrut. Bukan karena adanya  belanja online (e-commerce), tapi daya beli memang turun.

Stabilitas politik dalam negeri juga ikut menentukan perekonomian nasional, terutama mengamankan kebijakan pragmatis pemerintah menghadapi goncangan eksternal seperti kurs yang melemah, trend penerimaan devisa yang terus menurun akibat pasar global lesu. Kalau pemerintah tidak bisa menjamin stabilitas politik dan kepastian hukum, maka sangat beresiko. Keresahan sosial dari kalangan mayoritas (masyarakat kelas bawah) bisa dimanfaatkan oleh kaum oportunis menjadi gerakan politik, dan bisa menjadi pemantik terjadinya konflik horizontal.

Untungnya, perang dagang antara AS dan Tiongkok –era Trump– memberikan berkah tersendiri bagi Indonesia. Adanya motif relokasi industri seperti industri smartphone, sepatu dan tekstil dari Tiongkok, Jepang, Korea dan Taiwan. Karena mereka menghendaki ada negara ketiga yang memasok, yang tidak masuk jangkauan radar soal kebijakan AS (maupun Tiongkok) soal tarif. Mereka sudah memberikan isyarat, pertumbuhan 4-5 tahun ke depan industrinya dialihkan ke negara lain, termasuk Indonesia. Sejak tahun 2018 telah terjadi relokasi industri ke sini. Di Batam ada industri 4.0 seperti ada Schneider Electric, dan Infineon. Sementara McDermott melakukan ekspansi juga. Mereka ingin menjadikan kawasan Nongsa Digital Hub. Pegatron Corporation yang merupakan supply chain produk-produk Apple memilih Indonesia sebagai negara tujuan diversifikasi pertama manufakturnya. Banyak industri yang tergantung ke pasar Tiongkok, seperti Lotte, harus memilih Indonesia agar terhindar dari dampak perang dagang tersebut.

Tiongkok sudah lebih dulu melakukan ekspansi bisnis ke Indonesia. Kebanyakan di Indonesia Timur seperti Sulawesi. Membangun smelter dan downstream bahan tambang untuk masuk ke pasar dalam negerinya, juga pasar AS. Alasannya karena dekat dengan bahan baku nikel dan upah yang relatif lebih murah. Upah di Tiongkok saat ini, 4 kali lipat dari UMR Tiongkok. Itu benar-benar berdampak serius sehingga perlu relokasi. Sejak 2018, nilai investasi Tiongkok di Indonesia Timur terus bertambah.

Apa yang terjadi di Tiongkok dan Indonesia, pasti berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dunia, karena dua negara ini merupakan negara anggota G20. Ekonomi global sekarang adalah kelanjutan dari neoliberalisme ekonomi yang berorientasikan pada keuntungan, bukan pada ideologi (agama), juga bukan nasionalisme, tapi individu orang per orang. Laba adalah satu-satunya yang mempersatukannya, tanpa pandang bulu ras, agama, dan nasionalisme. Laba adalah cermin kebersamaan. Laba adalah distribusi ekonomi yang adil, dan Tiongkok sudah membuktikannya. []