Sukron Makmun
(Intelektual muda NU, Wakil Sekjen PERHATI dan
Analis Geopolitik Internasional)
Mayoritas masyarakat dunia tahu bahwa pasca runtuhnya Uni Soviet, kini ada persaingan antara dua kekuatan besar (super power) dunia. Yang satu pemain lama: Amerika Serikat (AS) dan lainnya lagi adalah pemain baru: Tiongkok. Bedanya, dulu AS dan Uni Soviet, keduanya sama-sama menggunakan pendekatan Hard-power (militer). Tapi Tiongkok beda. Tiongkok yang tidak pernah punya sejarah menjajah dan mengeksploitasi negara lain dengan kekuatan militernya, lebih memilih cara yang lebih halus: dengan pendekatan Soft-power.
Dengan modal kekuatan ekonominya, dan dana yang sedang melimpah, Tiongkok menjelma menjadi negara terbesar di dunia pemberi kredit. Negeri Tirai Bambu ini tidak menyebar pangkalan militernya seperti AS atau Rusia, tapi menebarkan kredit kepada –setidaknya– 152 negara, dengan total pinjaman sebesar 5 Triliun dolar AS (atau sekitar 69.000 Triliun rupiah). Bahkan terdapat sekitar 50 negara berkembang yang terus menambah hutangnya kepada Tiongkok.
Tiangkok berinvestasi langsung ke –hampir– seluru benua, bahkan bisa dikatakan ke seluruh penjuru dunia, termasuk ke AS. Dengan Belt Road Investment (BRI) Tiongkok menawarkan program investasi yang sangat menarik di banyak negara yang termasuk jalur Sutera. Tiongkok juga menjadi mitra strategis dagang ekspor-impor terbesar untuk banyak negara, termasuk AS, Uni Eropa, Australia dan lain-lain.
Ketika AS dengan kekuatan militernya ingin menduduki singgasana “super power” dunia, Tiongkok justru memilih dengan jurus tarian selendang suteranya. Tanpa terasa, akhirnya banyak negara yang merasa berhutang budi padanya. Sampai negara-negara Arab di Timur Tengah yang biasanya bersahabat mesra dengan AS (seperti: Arab Saudi, Qatar, UEA, dan Mesir) kini mulai terhanyut oleh tarikan selendang suteranya Tiongkok.
Strategi Soft-power Tiongkok telah dibaca oleh AS. Untuk mengantisipasi dominasi Tiongkok di dunia, AS juga ikut menggunakan strategi Soft-power, meskipun cara dan domainnya berbeda. AS merebut ruang publik melalui pembentukan opini di media massa. AS terkenal sangat pandai mempengaruhi opini publik dan memutarbalikan fakta.
AS membentuk semacam rantai industri yang membuat dan menyebarkan informasi menyesatkan mengenai Tiongkok. Menggunakan cara-cara kotor seperti: melatih para jurnalis untuk membuat laporan miring mengenai Tiongkok. AS gigih mencari pihak-pihak terkait, untuk mendukung informasi yang ia bentuk dengan cara menyuap para kontributor lokal agar berkenan memberikan bahan atau informasi untuk disampaikan kepada media yang berada di bawah control AS dan sekutunya (Barat). AS terbukti selalu mendukung organisasi anti-Tiongkok lokal di berbagai negara; melatih para jurnalis dan koresponden untuk menguasai teknik penyelidikan atas proyek One Belt One Road (OBOR) yang telah diinisiasi oleh Tiongkok.
AS menggunakan media seperti VoA, RFA untuk memuluskan tujuan politik anti-Tiongkoknya. Memback-up operasi medianya dengan RUU “Persaingan Strategis 2021” yang telah disetujui oleh Komisi Hubungan Luar Negeri Senat AS (April 2021), sehingga ada pijakan untuk mengalokasikan dana sebesar 300 juta dolar per tahun (sejak 2022-2026) sebesar 1,5 Milyar dolar untuk melawan “Daya Pengaruh Global Tiongkok”. Di mana UU ini mengamanatkan anggaran 100 juta dolar yang harus dialokasikan tiap tahunnya untuk mendukung Badan Media Internasional AS untuk memantau/ meng-counter setiap informasi yang dirilis oleh Tiongkok. UU ini juga menganjurkan agar AS mencampuri urusan dalam negeri Tiongkok terkait isu Xinjiang.
Tiongkok perlu waspada dengan cara-cara yang dipakai AS ini. Untuk memenangkan persaingan merebut kursi “kekuatan utama dunia”, sekaligus menghentikan hegemoni Paman Sam itu, Tiongkok harus memastikan dirinya menjadi enough everywhere excellent somewhere. Meskipun Tiongkok sudah meng-upgrade kekuatan militernya (Hard-power) secara riil, terbukti: di darat, tentara angkatan daratnya (AD) adalah yang terbesar di dunia, Angkatan Udaranya (AU) adalah yang terbaik kedua di dunia setelah AS, sedangkan di laut, Angkatan Lautnya (AL) semakin menghegemoni dunia –khususnya di wilayah Indo-Pasifik. Tiongkok saat ini sudah menguasai 3 juta kilometer wilayah di Laut China Selatan (LCS) dan sekitarnya, tapi soal Soft-power, terutama kepiawaiannya melalui jalur diplomatik, AS telah lama teruji. Selama ini, –sesuai pengalaman penulis– Tiongkok dalam membangun hubungan internasional, lebih atensi ke hubungan bisnis ke bisnis (business to business), lembaga ke lembaga/ institusi. Sementara people to people contact-nya masih sering terabaikan. Banyak inisiatif baik Tiongkok yang disalahpahami oleh masyarakat, yang disebabkan oleh model komunikasi otoritas Tiongkok dengan awak media ataupun tokoh-tokoh masyarakat setempat yang kurang cair. Tidak sedikit para diplomat/ wakil pemerintah Tiongkok yang terkesan kaku dalam membangun komunikasi dengan masyarakat lokal. Yang terakhir ini, perlu dipikirkan kembali oleh Tiongkok. Jika tidak, rasanya sulit untuk[A1] mengambil alih dominasi global, mengalahkan kompetitornya: AS.