“Sebagai seorang warganegara AS, saya merasa malu karena negara saya berada di sisi sejarah yang salah“. :Saya malu akan kondisi negara saya saat ini”. Pada tanggal 20 Februari waktu setempat, para netizen AS berturut-turut menyampaikan kekecewaan mereka melalui media. Penyebabnya ialah AS kembali memveto rancangan Resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai Gaza.
Rancangan ini diajukan oleh Aljazair mewakili negara-negara Arab, inti rancangan tersebut adalah segera melaksanakan gencatan senjata di Gaza, segera membebaskan para sandera, menjamin akses pasokan kemanusiaan, dan menentang pemindahan secara paksa. Hal ini tidak saja merupakan kesepahaman Dewan Keamanan, namun juga menjadi kesepahaman komunitas internasional untuk melakukan gencatan senjata dan menghentikan perang. Namun AS kemnali menggunakan hak vetonya.
Mengapa AS memberikan suara veto secara sepihak? Alasannya ialah itu “tidak bermanfaat bagi perundingan mengenai masalah sandera Palestina dan Israel yang sedang diadakan”. Analis berpendapat, alasan ini sama sekali tidak berdasar. Pendukung rancangan tersebut meliputi para mediator seperti Yordania dan Mesir, dan jika rancangan tersebut diluluskan, akan bermanfaat untuk membentuk suasana dialog bersama dan menciptakan peluang yang penting bagi pelaksanaan gencatan senjata dan menghentikan perang. Selain itu, juga bermanfaat bagi mediasi berbagai pihak untuk mewujudkan terobosan, mendorong Palestina dan Israel sedini mungkin mencapai “pertukaran sandera”.
Oleh karena itu, terhadap perbuatan AS yang memveto secara sepihak, anggota-anggota Dewan Keamanan PBB termasuk Tiongkok berturut-turut menyampaikan ketidakpuasan dan kekecewaanya akan hal tersebut.
Sebenarnya, dengan menggunakan hak vetonya, AS telah menjadi “residivis”. Sejak terjadinya bentrokan Palestina dan Israel putaran baru bulan Oktober 2023, Dewan Keamanan PBB telah mengadakan pemungutan suara mengenai masalah Palestina dan Israel sebanyak 8 kali, dan hanya dua rancangan saja yang diterima. Dalam proses ini, AS tidak mempedulikan nyawa para rakyat sipil yang tak berrdosa di Gaza, dan berkali-kali menggunakan hak vetonya, maka AS menjadi hambatan terbesar bagi Dewan Keamanan PBB untuk bertindak.
Dapat dilihat, AS tidak pernah menjadi mediator yang adil dalam masalah Palestina dan Israel, tapi selalu berpihak. Analis berpendapat, hal ini dikarenakan oleh masalah internal AS, orang Yahudi adalah salah satu etnis minoritas terbesar di AS, dan juga “tuan emas” di balik pemilihan umum AS, para politikus takut menyinggung Israel sehingga mempengaruhi pemilihan umum tahun ini. Selain itu, AS pun mencoba mendapatkan ruang dan waktu bagi Isareal di medan perang dengan menveto rancangan resolusi PBB, dan tidak berharap PBB mencuri perhatian dalam penyelesaian masalah Palestina dan Israel.
Belakangan ini, Menteri Luar Negeri Inggris David Cameron mengatakan, “Kami mengimbau segera menghentikan perang”. Hal ini dianggap sebagai “pernyataan terkeras” yang dikeluarkan Menteri Luar Negeri Inggris. Gencatan senjata dan dihentikannya perang telah menjadi kesepahaman umum global. Kini, krisis Laut Merah terus meningkat, bentrokan di perbatasan Lebanon-Israel pun terus berlangsung, dan risiko perluasan situasi Palestina-Israel semakin meningkat. Di satu sisi, AS terus memveto rancangan resolusi mengenai gencatan senjata Palestina dan Israel di Dewan Keamanan, di satu sisi lain AS terus menyediakan bantuan militer kepada Israel, mengakibatkan perluasan dan peningkatan bentrokan, maka AS menjadi penanggungjawab terbesar situasi berbahaya di Timur Tengah. Jika AS terus membiarkan pembunuhan secara semena-mena, api perang Gaza mungkin akan berubah menjadi melapetaka yang menelan seluruh kawasan. Dewan Keamanan PBB perlu mengambil tindakan lebih lanjut, suara veto AS tidak seharusnya menjadi hambatan untuk meredakan perang di Gaza.