Tiga Hal Yang Patut Disadari Dunia pada Peringatan Dua Tahun Konflik Rusia-Ukraina

2024-02-24 10:30:24  

Konflik Rusia-Ukraina sudah berlarut-larut selama dua tahun tepatnya pada tanggal 24 Februari 2024. Kini tentara dari kedua negara tersebut masih terjebak dalam kancah perang tarik ulur, di mana AS dan negara-negara sekutunya di Eropa siap menjatuhkan sanksi baru terhadap Rusia sehingga prospek gencatan senjata tampaknya semakin kabur. Opini umum dunia berturut-turut melakukan evaluasi dan introspeksi terhadap konflik tersebut. Al hasilnya seruan yang mengimbau penghentian perang pun menjadi semakin gencar.

Konflik Rusia-Ukraina adalah perang lokal yang paling serius yang melanda Eropa pasca Perang Dingin. Menurut data Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau OHCHR, selama dua tahun lalu, konflik telah mengakibatkan jatuhnya 500 ribu korban jiwa maupun luka-luka di kedua belah pihak. Lebih dari 10 juta warga Ukraina mengungsi meninggalkan kampung halaman. Di balik konflik tersebut, harga bahan bakar minyak dan bahan pangan terus melambung. Sejumlah negara Afrika bahkan mengalami “kelangkaan pangan”. Sejalan dengan waktu, dampak negatif dari konflik terus menebar.

Kini melalui introspeksi atas konflik, dunia semakin menyadari bahwa politik internasional bukanlah rumus-rumus matematika yang sederhana, mentalitas perang dingin adalah biang keladi konflik, dan AS menjadi dalang di balik konflik.

Jauh pada awal konflik dua tahun lalu, para analis berpendapat, konflik itu adalah akibat dari mentalitas perang dingin serta semakin meruncingnya politik blok versus blok. NATO yang dipimpin oleh AS terus menggeser ruang keamanan Rusia sehingga langsung memicu konflik yang kian meningkat. AS berbuat demikian justru untuk melemahkan Rusia, mengacaukan Eropa dan menimpakan krisisnya kepada dunia dalam rangka meraup keuntungan untuk menjaga hegemoninya.

Selain itu, konflik yang berlarut-larut dua tahun itu membuktikan bahwa sanksi sepihak tidak akan berguna, malah akan memperuncing kontradiksi dan konfrontasi.

Bukti empiris sejarah membuktikan bahwa konflik apa pun akan berakhir dengan kembali ke meja perundingan. Krisis Ukraina yang memanjang, memperumit dan memperluas tidak sesuai dengan kepentingan bersama masyarakat internasional. Berbagai pihak mau tak mau harus mengakui bahwa dialog dan perundingan adalah satu-satunya jalan keluar bagi penyelesaian krisis.

Sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, Tiongkok selalu mengimbau berbagai pihak menahan diri dan berkepala dingin, menghindari meningkatnya krisis, dan bersama mencegah meluasnya risiko perang, serta mencegah munculnya perang antar negara besar yang berskala lebih besar, lebih-lebih harus mengantisipasi munculnya krisis kemanusiaan. Untuk itu, Tiongkok telah kerap kali mengirim utusannya untuk melakukan mediasi bolak-balik. Baru-baru ini Tiongkok berkali-kali menyatakan, selama masih ada secercah harapan, Tiongkok mutlak tidak akan membatalkan upayanya, dan akan terus memainkan peranan konstruktifnya untuk penghentian perang dan pembangunan kembali perdamaian.