Mengenal Perayaan Cap Go Meh di Tiongkok

2024-02-25 10:39:22  


Tentunya Anda sudah tidak asing lagi dengan perayaan Cap Go Meh. 


Cap Go Meh adalah sebuah festival yang jatuh pada hari ke-15 bulan pertama penanggalan lunar, sekaligus menjadi penutup rangkaian perayaan tahun baru Imlek. 


Cap Go Meh berasal dari dialek Hokkien yang memiliki makna malam ke-15. Biasanya momen Cap Go Meh di Indonesia dirayakan dengan festival lampion dan diramaikan dengan kehadiran barongsai. 


Tradisi yang sudah begitu melekat dalam acara suku Tionghoa ini umumnya digelar di sepanjang jalan besar dengan harapan mampu mengusir hal negatif dan juga membawa kesuksesan serta keberuntungan.


Salah satu perayaan Cap Go Meh di Indonesia yang paling meriah adalah Pawai Tatung yang digelar di kota Singkawang, Kalimantan Barat. 


Tatung sendiri adalah orang terpilih yang dirasuki oleh roh baik sebagai media ritual saat Cap Go Meh, dengan maksud untuk mengusir roh jahat, penyakit, musibah, dan membersihkan kota dari malapetaka. 


Para Tatung yang sudah dimasuki roh dewa akan duduk di tandu khusus yang penuh dengan bilah-bilah pedang tajam, paku, atau tombak. 


Mulai dari alas kaki, alas duduk, hingga pegangan tandu semuanya tajam. Ada yang menusukkan besi tajam nan panjang mirip jarum ke pipi sampai tembus. 


Menariknya, dari perayaan Cap Go Meh di Kota Singkawang ini lahirlah akulturasi budaya Tionghoa dan Dayak. Sebab, banyak masyarakat Dayak yang ikut menjadi peserta tatung.


Bagaimana dengan perayaan Cap Go Meh di negeri asalnya, Tiongkok?


Cara merayakan Cap Go Meh di tiap daerah di Tiongkok juga berbeda-beda. Misalnya perayaan Cap Go Meh di kota Shantou, provinsi Guangdong, Tiongkok. Cap Go Meh di kota Shantou diramaikan dengan tari "Ying Ge", sebuah seni tari kuno yang memadukan unsur opera, tari, dan seni bela diri.


Tari Yingge, yang secara harfiah berarti tari lagu pahlawan dalam bahasa Mandarin, adalah tarian rakyat tradisional yang berasal dari daerah Chaoshan di Provinsi Guangdong di Tiongkok selatan.


Sejarah Tari Yingge dapat ditelusuri hingga Dinasti Ming, namun dipercaya merupakan transformasi dari "Tari Nuo", sebuah tari kuno berusia ribuan tahun yang dulunya merupakan bagian ritual keagamaan untuk mengusir setan, penyakit dan pengaruh jahat, serta untuk memohon berkah dari para dewa. 


Tari Yingge biasanya dipentaskan pada saat festival dan perayaan tertentu, para penari akan mengenakan kostum warna-warni, merias wajah mereka dan dilengkapi tongkat kayu pendek. 


Tidak seperti tarian pada umumnya yang dipertunjukkan di atas pentas, tari Yingge ditampilkan secara bebas di atas jalanan, para penari melangkahkan kaki ke sana dan ke sini, menggerakkan tongkat ke atas dan ke bawah, ke kiri dan ke kanan, gerak tari dilakukan dengan kuat dan penuh semangat. 


Tari Yingge sendiri sudah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda tingkat nasional di Tiongkok sejak tahun 2006 silam.


Dalam beberapa tahun terakhir, Tari Yingge semakin populer di kalangan anak muda Tiongkok, tidak sedikit anak muda yang aktif mempelajari tarian Yingge, sehingga sangat membantu upaya pewarisan tarian Yingge ke generasi selanjutnya.


Hal di atas tentunya tidak terlepas dari beberapa faktor, pertama adalah upaya yang dilakukan pemerintah Tiongkok untuk meningkatkan kepercayaan diri dan kompetensi budaya tradisional Tiongkok.


Kedua, di era digital, media sosial menjadi salah satu wadah penting untuk mempromosikan seni dan budaya tradisional. 


Banyak warganet Tiongkok yang merekam keindahan tari Yingge lalu mengunggahnya ke sosial media, sehingga semakin banyak anak muda mengenal Tari Yingge, lalu berinisiatif untuk mempelajari Tari Yingge. 


Dan terakhir adalah, Tarian Yingge terus berkembang dan berubah seiring perkembangan zaman. Dulunya Tarian Yingge hanya boleh ditampilkan oleh laki-laki, namun kini perempuan juga diperbolehkan untuk ikut serta.


Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai dan melestarikan warisan budayanya. 


Di era globalisasi, sudah seharusnya kita menyelaraskan pengaruh kebudayaan yang datang dari luar dengan tetap mendasarkan pada nilai-nilai budaya kita sendiri, sehingga memperkuat jati diri bangsa dan generasi muda tidak tergerus oleh arus globalisasi.