Seminar "Berbagi Peluang Baru Pembangunan Ekonomi: Mendorong Perkembangan Hubungan Ekonomi dan Perdagangan antara Indonesia dan Tiongkok"

2024-03-09 14:07:08  

Jakarta Barat, DKI Jakarta, Indonesia - 8 Maret 2024

1. Seminar bertema "Berbagi Peluang Baru Pembangunan Ekonomi: Mendorong Perkembangan Hubungan Ekonomi dan Perdagangan antara Indonesia dan Tiongkok" sedang berlangsung

2. SOUNDBITE (English) Dr. Xu Feibiao, Periset Senior Institut Riset Hubungan Internasional Kontemporer Tiongkok, Direktur Pusat Studi BRICS dan G20 Tiongkok: "The government's work report for the two sessions set the GDP growth target for 2024 at 5 percent. This target is in line with everyone's expectations and is also in line with the actual national situation. the target fully takes into account the current difficulties and challenges. This year's 5 percent growth rate is different from last year's, which will face a higher base.”

3. Para pembicara tengah berbicara soal gagasannya

4. SOUNDBITE (English) Dr. Zhang Xuegang, Direktur dan Periset Institut Hubungan Internasional Kontemporer Tiongkok (CICIR): "I think our economic and trade cooperation is very fruitful and has reach higher level. As we know last year, the trade between us has reach $127 billion. Since then, China has become the largest Indonesia's largest trading partner.”

5. Pembicara sedang memaparkan gagasannya

6. SOUNDBITE (Bahasa) Prof. Dr. Murpin Josua Sembiring, S.E., M.Si., Guru Besar Ilmu Manajemen Entrepreneurship di Universitas Ciputra Surabaya: "Saya ingin juga menyarankan investasi kerja sama di sektor pertanian. Ini yang penting karena orang Indonesia kebanyakan ada di sektor pertanian. Dan saya lihat pertumbuhan hasil pertanian di Tiongkok itu bisa mencapai 660 juta metrik ton pada tahun 2023. Itu sangat prospek sekali.”

7. Pembawa acara tengah bertanya kepada pembicara

8. SOUNDBITE (Bahasa) Veronika Sintha Saraswati, Pelaksana Unit Study Tiongkok, Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS): "Dari riset yang saya buat, pembangunan kereta cepat ini memberi manfaat yang besar untuk Indonesia. Yang pertama adalah meningkatkan aksesibilitas perkotaan di pulau Jawa. Dengan berjalannya kereta cepat, makan peningkatan aksesibilitas kota-kota di sepanjang rel kereta api berkecepatan tinggi itu akan membentuk kembali distribusi spasial regional faktor-faktor produksi dan mempercepat arus modal dan populasi, mempromosikan pengembangan industri dan peningkatan lapangan kerja, "  

9. SOUNDBITE (Bahasa) Christine Susanna Tjhin, Direktur Kajian Strategis Gentala Institute: "Dari Tiongkok yang bisa kita tiru adalah alokasi bagaimana mereka menuju arah (pengembangan) inovasi dan teknologi tinggi. Kalau kita melihat data terakhir dari UNESCO, pengeluaran pemerintah Tiongkok untuk sektor pendidikan 3,3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

10. SOUNDBITE (Bahasa) Fathan Sembiring, Direktur Hubungan Pemerintah dan Pengelolaan Masyarakat Gentala Institute: "Yang perlu kita selesaikan adalah terkait dengan mental block dan persepsi. Mental block ini kan bagaimana melihat bahwa sebenarnya itu di luar sana tidak ada ancaman (Tiongkok). Yang merasa bahwa ada ancaman (Tiongkok) itu adalah pikiran kita sendiri. Sudah banyak sekali hal-hal yang terkait mental block dan mispersepsi seperti itu. Maksud saya, ini harus kita selesaikan dulu, terutama kalau kita melihat kerja sama antara Indonesia dan Tiongkok kedepannya."

File: Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau WHOOSH

Storyline:

Bharata Production dan CGTN Indonesia menggelar seminar bertema "Berbagi Peluang Baru Pembangunan Ekonomi: Mendorong Perkembangan Hubungan Ekonomi dan Perdagangan antara Indonesia dan Tiongkok", pada hari Jum'at (8/3) di Jakarta.

Seminar yang disiarkan secara langsung dan eksklusif di channel Youtube Bharata Online itu menghadirkan pembicara-pembicara yang ahli di bidangnya, baik yang berasal dari Tiongkok maupun Indonesia.

Menurut Prof. Dr. Murpin Josua Sembiring, S.E., M.Si., Guru Besar Ilmu Manajemen Entrepreneurship di Universitas Ciputra Surabaya, penting bagi Indonesia untuk memahami pasar Tiongkok dengan baik dan mengambil langkah strategis untuk memanfaatkan peluang yang ada, terutama terkait pengembangan pertanian pintar atau smart farming. 

Ia pun berharap bahwa Tiongkok memiliki niat yang tulus untuk mentransfer teknologi dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya kepada Indonesia tanpa harus menyebabkan ketergantungan.

"Saya ingin juga menyarankan investasi kerja sama di sektor pertanian. Ini yang penting karena orang Indonesia kebanyakan ada di sektor pertanian. Dan saya lihat pertumbuhan hasil pertanian di Tiongkok itu bisa mencapai 660 juta metrik ton pada tahun 2023. Itu sangat prospek sekali. Oleh sebab itu, saya rasa peluang kerja sama Tiongkok dengan Indonesia di sektor ini harus ditingkatkan, baik komunitasnya, inovasinya, dan teknologinya," ujarnya.

Di sisi lain, Direktur Kajian Strategis Gentala Institute, Christine Susanna Tjhin, mengatakan bahwa Indonesia harus mencontoh Tiongkok yang mengutamakan teknologi dan inovasi tidak hanya ke dalam perekonomiannya, tetapi juga ke dalam kehidupan bermasyarakat secara meluas. Menurutnya, pendekatan itu dapatmembantu Indonesia keluar dari perangkap pendapatan menengah dan menciptakan perekonomianberbasis inovasi yang inklusif.

"Dari segi fundamentalnya saja saya pikir dari Tiongkok yang bisa kita tiru adalah alokasi bagaimana mereka menuju arah (pengembangan) inovasi dan teknologi tinggi. Kalau kita melihat data terakhir dari UNESCO, pengeluaran pemerintah Tiongkok untuk sektor pendidikan 3,3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan kata lain, dari keseluruhan pendapatan nasional Tiongkok, 3,3 persen dipakai untuk pendidikan. Di Indonesia kita cuma 3 persen, cukup baik. Tapi di sisi lain, untuk sektor research and development, di Tiongkok itu angkanya 2,5 persen. Di Indonesia, sayangnya baru 0,28 persen," jelasnya.

Selain dua pakar di atas, seminar ini juga turut menghadirkan Dr. Xu Feibiao, Periset Senior Institut Riset Hubungan Internasional Kontemporer Tiongkok dan Direktur Pusat Studi BRICS dan G20 Tiongkok, Dr. Zhang Xuegang, Direktur dan Periset Institut Hubungan Internasional Kontemporer Tiongkok (CICIR), Veronika Sintha Saraswati, Pelaksana Unit Study Tiongkok, Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS), serta Fathan Sembiring, Direktur Hubungan Pemerintah dan Pengelolaa