Penulis: Christine Susanna Tjhin
Direktur Komunikasi dan Kajian Strategis Gentala Institute
Ada banyak diskusi menarik yang terpantik dari proses politik akbar di Beijing beberapa hari ini , yang dikenal sebagai Dua Sesi . Meski ada sejumlah pengamat yang skeptis dengan angka 5% target pertumbuhan 2024 yang disebutkan PM Li Qiang dalam laporan kerjanya, ada beberapa aspek yang justru meniupkan angin optimisme dan menarik untuk kita pelajari:
Aspek pertama adalah Kekuatan Visidan Misi para pemimpin di Tiongkok:
Konsep “Kekuatan Produktif Baru ”, yaitu kekuatan yang lahir dari terobosan inovasi iptek yang berkelanjutan dan mampu mendorong industri-industri strategis yang baru di era informasi digital dan Kecerdasan Buatan (AI). Tiga karakteristik utama dari KPB ini meliputi: teknologi tinggi, efisiensi tinggi, dan kualitas tinggi.
Turunan darikonsep KPB tersebut adalah yang disebut sebagai “Tiga Hal Baru”, yang meliputi: Industri Baru, Bentuk Bisnis Baru (e-commerce, platform ekonomi berbagi, dan layanan digital), serta Model Pertumbuhan Ekonomi Baru (yang berkelanjutan dan efisien).
Aspek kedua adalah evaluasi komprehensif terkait kinerja ekonomi dan diplomasi Tiongkok di periode sebelumnya.
Kita bisa memahami kekhawatiran banyak pihak terkait lesunya kinerja ekonomi Tiongkok terutama yang terkait dengan komplikasi sektor properti domestik, pengelolaan hutang, lemahnya permintaan luar negeri di masa pemulihan paska pandemi, tekanan geopolitik dari AS dan para sekutunya (Jepang, Uni Eropa, Australia, dll).
Namun jika kita ingin mendapat evaluasi yang komprehensif, kita perlu menengok pada sektor lain, seperti turisme, energi hijau dan kendaraan listrik, ada banyak catatan positif yang bisa kita gali. Saya mengangkat sektor ini karena mereka sangat relevan dengan Indonesia. Bukan hanya sekedar meneladani tapi juga layak dikembangkan untuk memperkuat hubungan Indonesia dengan Tiongkok.
Menurut Kementerian Budaya dan Pariwisata Tiongkok, angka kunjungan wisata domestik mengalami kenaikan 34,3 persen dibanding tahun sebelumnya dengan jumlah mencapai 474 juta perjalanan. Total pengeluaran wisatawan mengalami kenaikan sebesar 47,3 persen dan menembus 632,68 miliar yuan (sekitar 1,4 kuadriliun rupiah). Wisatawan Tiongkok yang keluar negeri tercatat sekitar 3,6 juta perjalanan.
Berdasarkan studi Gentala Institute, pasar perjalanan wisata keluar Tiongkok diproyeksikan mencapai 1,17 triliun yuan (sekitar 2,54 kuadriliun rupiah) di tahun 2024. Meski kemungkinan belum akan memecah rekor yang pernah dicapai pra-pandemi, namun angka tersebut merupakan dua kali lipat dari tahun sebelumnya.
Singapura dan Thailand tahun ini akan menjalankan peraturan bebas visa baru dengan Tiongkok. Sayangnya, Indonesia hingga saat ini masih dalam proses menyelaraskan aturan visa dengan Tiongkok. Selain itu, berdasarkan survei online Global Times, Indonesia belum masuk dalam 10 destinasi terkondang sepanjang Imlek 2024. Masih banyak PR yang harus kita selesaikan terkait dengan hubungan kita dengan Tiongkok ini.
Agar selaras dengan semangat Tiga Hal Baru yang didengungkan dari ajang Dua Sesi, maka saya akan mengangkat Tiga Hal terkait perkembangan Iptek di Tiongkok yang bisa Indonesia pelajari.
Hal-halyangbisa dipelajari dari Tiongkok terkait dengan inovasidalam bidang iptek:
1. Transformasi Ekonomi Digital:
Transformasi ekonomi digital Tiongkok selama dua dekade terakhir merupakan salah satu kisah pengentasan kemiskinan yang paling luar biasa di dunia. Indonesia dapat belajar dari pendekatan Tiongkok terhadap e-commerce, solusifintech, dan pasar digital Tiongkok.
Tiongkok berhasil membangun salah satu ekosistem investasi digital dan start-up paling aktif didunia.1 Kisah sukses yang paling menonkol meliputi, realitas virtual, kendaraan otonom, 3-D printing, robotika, drone, dan kecerdasan buatan (AI).
Saat ini, Tiongkok adalah pasar e-commerce terbesar didunia yang telah menyumbang lebih dari 40% nilai transaksi global. Pembayaran mobile juga merupakan arena unggulan Tiongkok, di mana nilai transaksinya 11 kali lipat dari transaksi di AS. Dari 262 unicorn (perusahaan start-ups bernilai >$1 milliar), sepertiganya berasaldari Tiongkok dan menguasai 43% dari nilai keseluruhan 262 perusahaan tersebut.
Tiga jawara Internet Tiongkok - Baidu, Alibaba, dan Tencent - atau yang secara kolektif dikenal sebagai BAT - telah mengembangkan ekosistem digital multi-aspek dan multi-industri yang menyentuh hampir setiap aspekkehidupan konsumen yang bermuara di Tiongkok namun melibatkan konsumen global.
2. Pengarusutamaan Teknologi dan Inovasi:
Tiongkok telah berhasil mengarusutamakan teknologi dan inovasi tidak hanya ke dalam perekonomiannya, tetapi juga ke dalam kehidupan bermasyarakat secara meluas. Pendekatan inidapat membantu Indonesia keluar dari perangkap pendapatan menengah dan menciptakan perekonomian berbasis inovasi yang inklusif.
Jika kita melihat data terakhir dari UNESCO, pengeluaran pemerintah Tiongkok untuk sektor pendidikan tercatat sebesar 3.3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini artinya, Tiongkok menghabiskan 3.3% dari pendapatan nasionalnya untuk pendidikan. Indonesia mencatat 3% dari PDB. Untuk sektor riset dan pengembangan, Tiongkok mengeluarkan 2.5% dari PDB sedangkan Indonesia hanya 0,28% dari pendapatan nasionalnya. Tambahan lagi, pemerintah Tiongkok dengan giat mendorong sektor swasta untuk lebih mengerahkan sumberdaya nya untuk riset dan pengembangan. PM Li Qiang dalam kunjungan kerjanya ke pelbagai wilayah di Tiongkok sejak tahun lalu selalu menekankan hal inidi hadapan para aktor ekonomidi Tiongkok.
3. Kerangka Hukum untuk Inovasi menuju Sektor Manufaktur Maju:
Tiongkok telah merevisi undang-undangnya untuk memajukan inovasi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Indonesia dapat belajar dari pendekatan ini untuk menciptakan kerangka hukum yang mendukung inovasi.
Rencana Tiongkok untuk mengembangkan sektor manufaktur maju adalah tema utama strategi ekonominya. Indonesia dapat belajar dari pendekatan ini untuk meningkatkan sektor manufakturnya sendiri.
Apa relevansinya dengan Indonesia?
Selain kita perlu meneladani dan mencoba menerapkan pelajaran dari kemajuan positif di Tiongkok, kita juga harus menyelaraskan hubungan bilateral kita dengan kebutuhan strategis nasional Indonesia.
Selama lebih dari satu dekade terakhir, Indonesia berusaha untuk mengubah struktur ekonominya dari ekonomi berbasis konsumsi menjadi ekonomi berbasis ekspor dengan sektor industri manufaktur yang kuat. Sejumlah riset dari LPEM UI, INDEF, misalnya, justru mengindikasikan bahwa ada resiko de- Industrialisasi (atau pelemahan sektor industri) di Indonesia.
Sedangkan kita melihat ke Tiongkok dan melihat potensi pasar ekonomi digital yang begitu masif. Bagaimana kita mendorong kapasitas Indonesia untuk penetrasi pasar ekonomi digital Tiongkok?
Di saat yang sama, Tiongkok justru ingin mengubah struktur ekonominya dari ekonomi berbasis ekspor, menjadi berbasis konsumsi. Ada potensi sinergidi sana dengan Indonesia.
Investasi dari Tiongkok harus diarahkan untuk bisa mentransfer teknologi dan inovasi mereka untuk memperkuat sektor industri di Indonesia, agar bisa menciptakan produk berkualitas khas Indonesia yang nantinya akan dikonsumsi oleh masyarakat Tiongkok.