Dampak dan Nilai Zaman ‘Memperdalam Studi ke Tiongkok’ bagi Generasi Muda Indonesia

2024-03-14 09:29:56  

Fathan Sembiring

Direktur Hubungan Pemerintah dan Pengelolaan Masyarakat Gentala Institute

 

Yang bisa saya amati adalah bahwa dunia ini berkembang ke arah yang lebih egaliter. Dalam pengertian, semua peluang, kesempatan untuk maju, sudah sangat terbuka di depan mata. Apalagi kalau kita mau melihat dari konteks melanjutkan studi. Sungguh, bahwa dengan adanya teknologi informasi, komunikasi, transportasi, dan lain sebagainya, saya pikir tidak ada hal yang tidak bisa kita lakukan. Tentu dalam konteks positif.

Hanya saja memang, kita harus bisa menghilangkan ‘mental block’ yang umumnya sering dijumpai di Indonesia. Mental block ini misalnya tidak berani mengambil resiko, terjebak pada zona nyaman yang mengelabui, gampang terpengaruh ajakan atau godaan kelompok pertemanan, dan lain sebagainya. Sehingga, mental block ini yang menurut hemat saya sebagai anak muda Indonesia, kita harus bisa paling tidak meminimalisir itu.

Tentu, selain mental block, hal ini juga terkait bagaimana persepsi yang kita miliki dalam memandang dunia. Dunia yang tidak datar dan maha luas ini, sesungguhnya menunggu kita untuk kita kunjungi. Bahkan, jangankan dunia, luar angkasa, antariksa, alam semesta pun kalau punya kemampuan, manusia bisa melakukan perpindahan antarplanet, dan itu sudah jelas ada di gawai-gawai yang kita semua sama-sama pegang, terlihat konten-konten tentang betapa sudah dahsyatnya perkembangan peradaban manusia saat ini.

Percaya lah untuk teman-teman Gen Z atau teman-teman yang masih berjiwa dan berusia muda yang menonton video ini, dunia di luar sana tidak se-seram itu, tidak se-menakutkan itu. Kita harus berani mengambil resiko, harus berani keluar dari zona-zona nyaman, dan harus berani bilang tidak kepada teman-teman satu circle kita kalau dengan bergaul dengan mereka justru kita tidak mendapatkan faedah apa-apa.

Sebagai generasi muda, kita harus tajam terhadap diri kita sendiri. Tajam dalam hal memahami diri sendiri, tau akan kebutuhan kita, tau akan bahwa banyak kemungkinan lain yang sedang menanti kita, dll dsb. Hal ini memang terdengar klise, tapi itu lah kenyataannya, bahwa jangan sampai generasi muda Indonesia hanya terlihat besar, tapi kopong, seperti cemilan bola-bola ubi.

Apalagi kalau membicarakan jati diri kita sebagai sebuah Bangsa. Indonesia sendiri, saya yakin kita berasal dari Bangsa yang memiliki sejarah yang juga sudah ada sejak misalnya catatan sejarah terkait Kerajaan Kutai Martapura, kemudian bagaimana adanya kerajaan-kerajaan lain Nusantara yang muncul dan tenggelam, kemudian pada akhirnya VOC datang, Jepang datang, usaha perebutan kemerdekaan dan lain sebagainya sampai kita bisa menikmati segala “priviledge” hidup di zaman serba enak ini.

Saya sendiri pernah studi dan bekerja di Tiongkok dari tahun 2011 hingga 2016, dengan total selama 5 tahun. Saya investasikan waktu saya untuk belajar Bahasa Mandarin 2 tahun di Peking University, mengambil S2 Bisnis Internasional di UIBE Beijing, lalu sempat bekerja di Kota Tianjin. Dari pengalaman saya, memang harus kita sendiri yang memiliki dorongan kuat untuk mengambil kesempatan. Dari total 4 tahun studi di Tiongkok, alhamdulillah saya mendapatkan beasiswa full dari China Scholarship Council.

Pada saat melakukan pendaftaran beasiswa, saya sendiri pun juga memiliki mental block dan mispersepsi yang sangat parah. Tapi akhirnya saya memberanikan diri untuk mendaftar beasiswa, bahkan orang tua saya sendiri pada waktu itu tidak tau kalau saya sedang mendaftar beasiswa ke Tiongkok. Kalau mereka tau, mungkin pada waktu itu saya tidak akan mendapatkan dukungan untuk daftar beasiswa ke Tiongkok.

Tapi memang, sebetulnya kalau kita perbandingkan katakanlah tahun sewaktu saya pergi ke Tiongkok dengan saat ini, tentu banyak perubahan yang telah terjadi. Terutama soal perkembangan teknologi mobil listrik, energi baru terbarukan, ekosistem kehidupan digital di sana yang juga sudah sangat jauh berbeda dengan pertama kali saya pribadi menjejakkan kaki di Tiongkok.

Sedikit kembali ke hubungan dengan jati diri kita sebagai Bangsa Indonesia, saya pikir ini harus menjadi PR (pekerjaan rumah) bersama. Yang saya amati, Bangsa Tiongkok memiliki clarity atau kejelasan terkait dengan apa yang menjadi hak mereka. Bangsa Tiongkok memiliki kejelasan bahwa mereka adalah Bangsa yang besar, sehingga memiliki hak untuk berkuasa di muka bumi ini, tentu dalam pemaknaan positif.

Sehingga, dengan demikian, energi kolektif yang ada secara kebangsaan, semua menuju ke arah bagaimana bisa menguasai dunia. Tidak perlu menjadi polisi dunia, tidak perlu. Karena sejatinya juga tidak ada yang berhak menjadi polisi dunia, dengan menerapkan sistem kolonialisme dan imperialisme dan lain sebagainya itu. Bangsa Tiongkok bisa bagaimana caranya saya juga kurang memahami, untuk memusatkan energi kolektif tadi menuju ke arah kemajuan-kemajuan. Tentu, hal ini dikarenakan sejarah Tiongkok yang sudah tercatat sejak lebih dari 4000 tahun lamanya, sehingga ada semacam kebanggaan dan kejelasan identitas. Jadi, katakanlah ada perbedaan-perbedaan cara pandang secara internal pemimpin mereka, saya rasa para pemimpin di Tiongkok bisa pada posisi agree to disagree, yang penting bagaimana agenda besar yang menjadi hak mereka itu tadi, bisa terealisasi.

Nah, mohon maaf, ini yang saya pribadi melihat, Bangsa Indonesia belum memiliki visi kolektif yang clear mau menjadi apa, siapa, dan bagaimana.

Saya pikir narasi-narasi ini perlu terus-menerus kita sama-sama bangun, supaya oke negara kita ada pembangunan infrastruktur, oke negara kita cukup kebal terhadap pandemi Covid-19 yang kemarin, tapi mudah-mudahan tidak terjebak ke dalam pragmatisme-pragmatisme pembangunan yang tidak memiliki visi yang utuh.

Misalnya, salah satu bidang yang sangat dibanggakan oleh negara-negara Barat, katakanlah Amerika Serikat yang sangat bangga dengan pencapaian Iptek nya, kita bisa melihat bahwa mereka sudah juga jauh ketinggalan dalam hal jumlah SDM yang memiliki latar belakang STEM (Science, Technology, Engineering and Math). Di Tiongkok sendiri saat ini ada lebih dari 5 juta lulusan yang memiliki latar keilmuan bidang STEM, dan merupakan yang tertinggi di dunia. Sedangkan progres per tahunnya, lulusan pendidikan PhD STEM di Tiongkok bisa mencapai 77 ribu orang, sedangkan di US sendiri hanya 44 ribu orang per tahunnya.

Dengan kemudahan teknologi informasi juga, rekan-rekan yang sedang menonton video ini dapat dengan mudah mengecek data-data tersebut.

Kalau boleh juga saya berpendapat, bahwasanya dengan segala macam fenomena katakanlah Chat GPT, Sora AI dan lain sebagainya, tentu kita sangat khawatir terkait dengan bagaimana persaingan bidang pekerjaan kedepannya. Saat ini dengan sangat mudah kita membuat desain grafis, video, teks akademik, teks cerita, teks pidato, dan lain sebagainya dengan bantuan berbagai macam teknologi AI tadi. Kita semua harus bisa termotivasi dengan betapa jangankan persaingan dengan robot seperti itu, persaingan dengan sesama manusia saja sudah bikin kita pusing tujuh keliling, bukan?

Tapi tentu ada satu hal yang tidak bisa digantikan, yaitu manusia nya itu sendiri. Robot akan selamanya menjadi robot, secanggih apapun tidak akan bisa menyamai manusia. Mirip-mirip kemampuan manusia, mungkin iya. Tapi robot tidak mungkin memiliki nurani, memiliki kehangatan, memiliki norma, memiliki empati dan lain sebagainya yang menurut saya ya hanya Tuhan yang bisa menciptakan sistem itu semua untuk kita.

Oleh karena itu, untuk misalnya melanjutkan studi ke Tiongkok walaupun, walaupun hanya belajar Bahasa Mandarin, itu sampai kapan pun tidak akan terganti dengan robot.

Dalam bertahun ini kami menjadi praktisi yang berkaitan dengan Indonesia – Tiongkok, banyak yang kami temukan walaupun misalnya tugas-tugas terkait dengan penerjemahan dokumen bisa sangat terbantu dengan katakanlah Google Translate, Baidu Translate, tetapi kalau sudah membahas terkait dengan pertemuan langsung misalnya kami dengan partner-partner kami asal Tiongkok, pertemuan antarmanusia itu terlalu kompleks untuk bisa dikopi dan diadopsi oleh robot.

Jadi, saya pikir, bagaimana kesemua hal yang pada sesi webinar ini sudah terbahas, jangan sampai menjadi sesuatu yang ‘oh yaudah, begitu’. Kita juga jangan melihat bahwa segala kemajuan yang Tiongkok telah capai, membuat hal tersebut menjadi seakan mustahil bagi Indonesia untuk mengejar nya. Kalau soal itu saya pikir Vietnam lebih memiliki daya juang sehingga bisa paling tidak pada posisi mempelajari dan mengikuti kemajuan-kemajuan Tiongkok secara aplikatif.