Fakta Ungkapkan Duduk Perkara “Kebebasan Bersuara” AS

2024-03-15 10:38:57  



Laporan yang berjudul Duduk Perkara dari Apa Yang Disebut sebagai “Kebebasan Bersuara” AS dirilis hari Kamis kemarin (14/3). Dengan bukti kuat, laporan tersebut telah mengungkapkan seperti apa sejatinya “kebebasan bersuara” yang disombongkan oleh AS, dan apa saja yang telah dilakukan AS, serta apa tujuan sejatinya.

Laporan menunjukkan, AS sejak lama menggembar-gemborkan kebebasan bersuara, namun menerapkan standar ganda dalam jangka panjang, serta menutup-nutupi manipulasi politik dan ketidakadilan sosialnya dengan menggunakan slogan politik yang kosong seperti menjunjung “kebebasan bersuara” dan topeng moral yang munafik. Di dalam negeri AS, pertarungan politik selalu menginjak-injak kebebasan bersuara, intervensi pers mengancam kebebasan bersuara, dan media sosial pun melanggar kebebasan bersuara. Di dunia internasional, AS bermimpi bisa terus “mendikte” negara lain, menghalangi demokratisasi hubungan internasional dengan hegemonisme, penindasan dan intimidasi, serta merusak lingkungan opini dengan memfitnah atau mencoreng nama baik negara lain, bersikeras mengelabui masyarakat internasional dengan memainkan pencitraan diri.

Dalam laporan tersebut disertai sejumlah bukti, antara lain, pertama, kebebasan bersuara AS tidak sebanding seperti apa yang dibualkannya. Hasil survei yang dilakukan New York Times dan Siena College pada 2022 menunjukkan, sebanyak 66 persen responden menyatakan tidak percaya bahwa warga AS menikmati kebebasan bersuara, dan 8 persen di antaranya berpendapat bahwa warga AS tidak punya kebebasan bersuara apa pun. Kedua, di dalam negeri AS, kebebasan bersuara dengan serius dilanggar. Pemerintah AS memanipulasi informasi terkait pandemi COVID-19, dan membungkam suara yang berbicara kebenaran.


 Seorang dokter perempuan keturunan Tionghoa bernama Helen dipaksa “tutup mulut” oleh otoritas lokal karena telah mengeluarkan peringatan tentang munculnya wabah virus corona seraya menyerahkan hasil testingnya kepada atasan. Selain itu, komandan kapal induk USS Theodore Roosevelt, Kapten Brett Crozier diberhentikan dari jabatannya setelah mengungkapkan kasus klaster virus corona yang tersebar antar ABK. Sejumlah pejabat Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan AS juga turut dibebastugaskan karena telah berbicara kebenaran. Direktur Institut Alergi dan Penyakit Menular Nasional Amerika Serikat (AS), Dr Anthony Fauci, yang dijuluki sebagai “kapten anti pandemi” AS, juga berkali-kali “hilang lenyap” dari publik. Ketiga, di luar negeri, AS memanipulasi kebebasan bersuara. Media AS secara berat sebelah menguraikan berita, dan dengan niat jahat melakukan peliputan terkait Tiongkok. Soal mundurnya perguruan tinggi AS dari pemeringkat universitas dan kejurusan dunia dipuji-puji media sebagai tingkah laku yang adil untuk melawan kezaliman yang menindas pendidikan perguruan tinggi AS, namun sebaliknya mendefinisi keluarnya perguruan tinggi Tiongkok dari pemeringkat tersebut sebagai “penutupan dan pengisolasian” yang dilakukan oleh bidang ilmu pengetahuan Tiongkok. Sejumlah politikus dan media AS mengecam penyerbuan warga AS terhadap gedung Capitol gara-gara pemilihan presiden sebagai kerusuhan, namun malah mempersolek kekerasan yang terjadi di pusat kota Hong Kong sebagai “pengejaran kebebasan demokrasi” dan “lanskap yang indah”.

Laporan tersebut menegaskan, kebebasan bersuara di dalam negeri AS sepertinya bermuka dua, yang memang lain dari yang lain, yaitu satu standar untuk elite politik dan hierarki kekuasaan, dan satu lagi untuk masyarakat yang luas; satu standar untuk AS dan satu lagi untuk negara lain. AS sering kali memublikasikan laporan yang menuduh negara lain menyebarkan hoaks, namun sebenarnya Amerikalah yang menjadi sumber asal usul berita palsu dan “komando perang kognitif”.