Media AS: Kecam “Kelebihan Kapasitas” Tiongkok Hanya Akan Perlambat Transisi Energi

2024-04-25 16:26:35  

Baru-baru ini, Bloomber Media Group di lamannya memuat sebuah artikel yang berjudul “Angin Telah Bertiup, Tapi Hanya di Tiongkok”.

Dalam artikel itu ditulis bahwa industri tenaga angin tengah berangsur pulih berkat kontribusi si “raksasa” Tiongkok yang unggul dalam sektor mobil tenaga listrik dan industri tenaga surya.

Dewan Tenaga Angin Global dalam sebuah laporannya menulis, kapasitas terpasang pembangkit listrik turbin angin baru di seluruh dunia tahun lalu mencapai 117 gigawatt, mencapai rekor yang baru. Dibandingkan setahun sebelumnya yakni tahun 2022, laju pertumbuhannya sangat mengejutkan, melonjak hingga 50 persen. Akan tetapi, jika Tiongkok dikecualikan, maka kapasitas terpasang pembangkit listrik turbin angin baru kecuali Tiongkok hanya tercatat 41 gigawatt, atau meningkat 0,088 gigawatt daripada tahun 2020.  

Melihat pertumbuhan yang begitu pesat di Tiongkok, Menteri Keuangan AS Janet Yellen dan Kanselir Jerman Olaf Scholz berturut-turut mengunjungi Tiongkok dalam dua pekan yang lalu. Mereka mengeluh bahwa ambisi Tiongkok telah menurunkan harga, sehingga hanya menyisakan ruang yang sangat minim kepada negara-negara lain untuk mendirikan badan teknologi bersih mereka masing-masing. 

Sebenarnya, proteksionisme semacam itu sangat keliru dan hanya akan memperlambat transisi energi.

Laporan tadi menunjukkan, di AS, hampir setiap onderdil kompleks yang dibutuhkan pembangkit listrik tenaga angin lokal telah mengalami kendala pemasokan, kecuali pelat baja gilingan, tembaga dan beton. Gejala serupa juga terjadi Eropa dan akan memburuk pada tahun ini dan tahun depan. Hanya rantai pasokan di Tiongkok yang mampu mendukung industri tenaga angin terus melaju. Dengan demikian, prasangka atau pandangan salah terhadap ambisi Tiongkok untuk mengembangkan teknologi bersih tidak bisa dipertahankan lagi.

Apabila kita ingin mengalami revolusi industri 4.0 yang dibutuhkan sistem energi dunia, maka kita harus rela menginvestasikan sejumlah besar dana, perlu mengambil strategi yang komprehensif, dan menyambut baik dukungan Tiongkok, AS dan Eropa, bukannya memancing sebuah perang dagang lainnya yang destruktif.