Menelaah Narasi “Ancaman Kelebihan Kapasitas” Sektor EV China

2024-05-02 11:16:33  

Meski tidak sedikit yang melabuhkan harapan bahwa kunjungan Menteri Keuangan AS Janet Yellen ke Tiongkok kali ini bisa menurunkan temperatur ketegangan geopolitik, realita kembali menyurutkan harapan tersebut.

 

Menurut Yellen, kenaikan investasi di industri-industri baru, terutama di sektor energi hijau (termasuk EV, batere lithium-ion dan solar), akan menggeser harga pasar dunia dengan kehadiran produk-produk Tiongkok dengan harga yang lebih terjangkau. Yellen mencemaskan “kelebihan kapasitas produksi” Tiongkok, terutama di bidang industri energi bersih yang memasuki pasar Amerika dan Eropa.

 

Perlu dicatat bahwa Yellen merepresentasikan kubu “merpati” yang relatif lebih bersahabat. Aktor-aktor kubu “elang” lebih condong pada narasi faktor “ancaman keamanan nasional” yang secara tidak mengejutkan telah banyak mendapat panggung di platform media arus-utama Barat - mulai dari ancaman keamanan data dalam EV asal China, ancaman bagi pelaku industri otomotif di AS, dan sebagainya. Akar dari kecemasan tersebut adalah bahwa Tiongkok akan melampaui AS dalam hal teknologi ramah lingkungan dan sektor industri baru lainnya di tataran global.

 

Komitmen dan dukungan pemerintah Tiongkok terhadap perkembangan sektor energi hijau bisa dipahami sebagai upaya perlindungan terhadap sejumlah sektor swasta sebagai bibit-bibit yang akan menopang pertumbuhan ekonomi masa depan, terutama sejak dicanangkannya kebijakan Kekuatan Produktif Baru yang mengedepankan faktor teknologi tinggi, efisiensi tinggi dan kualitas tinggi. 

 

Namun perlindungan yang berlebihan justru akan berpotensi melemahkan bibit-bibit tersebut dan merusak struktur fundamental ekonomi domestik, sehingga secara bertahap perlindungan awal tersebut sudah direduksi bahkan dihilangkan.

 

Untuk sektor EV, misalnya, subsidi telah dikurangi sejak tahun 2022 dan di tahun 2023 telah tidak ada lagi. Yang menjadi fokus sekarang lebih pada subsidi untuk para konsumen melalui kemudahan pajak pembelian, sistem kredit EV serta perluasan dan konsolidasi ekosistem EV untuk para pengguna.

 

Perlindungan awal untuk sektor industri domestik adalah praktek biasa bagi negara-negara di dunia. Presiden Biden mengupayakan perlindungan sektor industri domestik AS sendiri, terutama sektor energi terbarukan dan sektor BBM serta sejumlah mineral lainnya melalui UU Pengurangan Inflasi (Inflation Reduction Act) tahun 2022, UU Membangun Kembali dengan Lebih Baik (Build Back Better Act), UU CHIPS tahun 2022, UU Infrastruktur Bipartisan tahun 2021 dan lainnya, serta sejumlah peraturan non-ekonomi. Biden tidak hanya meneruskan pendekatan proteksi era Trump, tapi bahkan mengembangkan mereka secara lebih giat.

 

Berlanjutnya ketegangan geopolitik antara kedua adidaya tentunya membawa dampak signifikan terhadap kawasan, terutama kawasan Asia Tenggara, di mana dinamika hubungan Tiongkok dengan ASEAN jelas semakin bergelora.

 

Hingar bingar di media arus utama Barat terkait narasi ancaman baru ini tertangkap pula oleh para pemangku kepentingan (stakeholders) di negara-negara ASEAN yang masih menyerap narasi tersebut.

 

Perlu kejelian untuk menakar perkembangan persaingan geopolitik tersebut dan memilah bagaimana para adidaya bersikap dalam menjaga stabilitas dan pertumbuhan pembangunan dan kemakmuran di kawasan. Apalagi, Indonesia, sebagai pemimpin alamiah kawasan Asia Tenggara, juga menargetkan diri menjadi salah satu pemain utama dalam industri EV di tataran global.

 

Sebagai salah satu produsen terdepan bahan baku batere EV, pemilik pasar EV potensial terbesar di kawasan dan bagian penting dari rantai produksi sektor energi hijau baru di kawasan, Indonesia perlu proaktif dalam menahkodai diplomasinya di tengah ketegangan rivalitas AS-Tiongkok yang tak kunjung surut.

 

Penutupan pasar dan akses sumber daya produsen Tiongkok oleh AS untuk menurunkan sirkulasi EV China berpotensi sebagai ancaman bagi perkembangan industri-industri penyedia sumber daya yang relevan di Indonesia. Selain itu, potensi proses alih teknologi energi hijau melalui proses investasi juga beresiko tersendat akibat hambatan dari kebijakan-kebijakan proteksi di atas.

 

Langkah proteksi industri domestik AS dan sejumlah inisiatif internasional dan regional yang diarahkan secara frontal ke Tiongkok dikhawatirkan akan melestarikan iklim yang tidak kondusif untuk kerja sama lintas negara dan kawasan.

 

Terlebih lagi, persistensi AS untuk menyokong perang proxy di Ukraina, terus memburuknya situasi Israel-Palestina dan kawasan Timur Tengah, serta resiko eskalasi di Taiwan dan Laut China Selatan, akan lebih menyulitkan posisi AS di kawasan.

 

Relatif absen-nya AS di kawasan Asia Tenggara di satu sisi dan semakin derasnya minat investasi di kawasan di mana China akan berperan lebih besar (sebagai penerima maupun penyedia investasi) di sisi lain akan mendorong komplikasi yang tidak sedikit dan tidak mudah. Di sinilah perilaku kepemimpinan negara-negara akan diuji dan di sini pulalah kemitraan strategis komprehensif Indonesia Tiongkok akan memasuki momentum baru.

 

Ada catatan penting dari pernyataaan Deputi Wakil Tetap Tiongkok untuk PBB, Dai Bing di pertemuan khusus tingkat tinggi Forum Pembiayaan untuk Pembangunan PBB hari Selasa lalu (22/04) terkait pentingnya tata kelola pembiayaan pembangunan demi pembiayaan global yang lebih inklusif, bermanfaat secara universal dan tangguh.

 

Reformasi arsitektur keuangan internasional, mobilisasi sumber daya pembangunan, perluasan representasi dan hak suara negara-negara berkembang, serta konsolidasi kapasitas bank pembangunan multilateral dalam mendorong inovasi instrumen pembiayaan adalah sejumlah inisiatif yang perlu mendapatkan perhatian lebih.

 

Komitmen untuk penanganan perubahan iklim dan pembiayaan sektor energi bersih sepatutnya menjadi ruang kerja sama yang melampaui geopolitik. Kemitraan Transisi Energi Adil (JETP) yang didorong oleh AS dan Kemitraan Investasi dan Keuangan Ramah Lingkungan (GIFP) yang diinisiasi oleh China tidak perlu dibenturkan dan sebenarnya berpotensi untuk mendorong realisasi inisiatif hijau global, seperti pencapaian emisi nol bersih dalam proses pembangunan ekonomi berkeadilan dan regeneratif di pelbagai pelosok.

 

Terlepas dari perang narasi di media arus utama, kredibilitas AS di kawasan akan sulit dipertahankan jika upaya AS menjamin kepentingan nasionalnya dilakukan dengan mengorbankan pembangunan kawasan - baik di Asia Tenggara atau lainnya.

 

Prinsip non-blok yang dipegang teguh oleh Indonesia dan dianut pula oleh Tiongkok sejak Konferensi Bandung 1955 perlu mendapat penjelmaan baru. Ini akan menjadi salah satu mandat terpenting yang harus dipangku oleh pemerintahan baru Indonesia yang akan datang.


Christine Susanna Tjhin

Direktur Komunikasi dan Kajian Strategis

Gentala Institute, Indonesia