“Penaikan tarif AS tidak beralasan”, “Makna simbolisnya lebih besar daripada dampak riilnya”. Komunitas internasional beramai-ramai menyatakan keraguan dan kritikannya setelah pemerintah AS mengumumkan penaikan tarif terhadap komoditas Tiongkok. Banyak media berpendapat bahwa AS terus mempolitisasi masalah ekonomi dan perdagangan, serta mengganggu hubungan ekonomi dan perdagangan normal antara Tiongkok dan AS, perbuatan tersebut tidak kondusif bagi perkembangan industri terkait, dan pada akhirnya akan melukai AS sendiri.
Pada bulan Maret 2018, pada pemerintahan Donald Trump saat itu, AS melancarkan perang dagang dengan Tiongkok berdasarkan "investigasi 301" dan berturut-turut mengenakan tarif tinggi terhadap komoditas Tiongkok yang diekspor ke AS sekitar US$360 miliar. Pada bulan Mei 2022, selama empat tahun sebelum penaikan tarif terhadap Tiongkok jatuh tempo, pemerintahan Biden mengumumkan untuk mengadakan proses peninjauan kembali. Pada tanggal 14 Mei lalu waktu setempat, AS merilis hasil peninjauan tersebut dan mengumumkan lebih lanjut penaikan tarif terhadap Tiongkok yang meliputi “tiga produk baru” Tiongkok yaitu kendaraan listrik, baterai lithium, dan produk fotovoltaik, serta mineral utama, semikonduktor, baja, aluminium, derek pelabuhan, dan alat pelindung diri.
AS kembali mengacungkan tongkat tarifnya, apakah hal itu berfungsi? Karena mengalami banyak pembatasan, produk Tiongkok termasuk kendaraan listrik, baterai lithium, dan chip Tiongkok tidak dapat memasuki pasar AS dalam skala besar. Data menunjukkan bahwa saat ini, kendaraan listrik, perlengkapan medis, dan produk semikonduktor hanya menduduki 5,9% dari total ekspor Tiongkok ke AS, dan kurang dari 1% dari total ekspor Tiongkok. Pada tahun 2023, jumlah kendaraan listrik yang diekspor Tiongkok ke AS hanya tercatat sekitar 10.000 unit, atau kurang dari 1% dari total ekspor Tiongkok. Pada kuartal pertama tahun ini, kendaraan listrik buatan Tiongkok yang diekspor ke AS hanya berjumlah kurang dari 2.000 unit.
Mekipun begitu, kenapa pemerintah AS bersikeras melakukan hal tersebut? Para analis menunjukkan bahwa di satu sisi, karena AS tidak mampu bersaing dengan Tiongkok di bidang-bidang seperti energi baru, maka para politisi AS terpaksa menggunakan langkah-langkah perlindungan perdagangan untuk menekan perkembangan industri-industri unggulan Tiongkok, agar perusahaan-perusahaan di dalam negeri AS memiliki lingkungan persaingan yang lebih menguntungkan, serta dapat mempertahankan AS pada posisi teratas dalam mata rantai industri global.
Di sisi lain, pemerintah AS kembali main “sandiwara politiknya”. Tahun ini adalah tahun pemilu AS, namun perekonomian AS terjerumus dalam berbagai kesulitan seperti inflasi yang tinggi dan defisit fiskal yang tinggi. “Mencari kambing hitam” selalu menjadi alternatif pemerintah AS. Seperti yang ditunjukkan oleh banyak analis, "perang tarif" yang dilancarkan Biden terhadap Tiongkok saat ini terutama disebabkan oleh kebutuhan politik di dalam negeri AS. Tujuannya adalah untuk memperoleh lebih banyak suara pemilih di negara bagian yang bermassa mengambang.
Fakta membuktikan, kemampuan nyata Tiongkok di bidang industri energi baru diperoleh Tiongkok melalui persaingan terbuka. Industri ini tidak hanya memperkaya pasokan global dan mengurangi tekanan inflasi global, namun juga memberikan kontribusi besar terhadap perubahan iklim dan transformasi hijau. AS dengan tak segan-segan menggunakan segala cara untuk menekan Tiongkok, namun tetap gagal menghambat revitalisasi Tiongkok. Sebaliknya, semakin jelas terungkap bahwa AS adalah “perusak peraturan internasional”. Tongkat tarif yang diayunkan AS pada akhirnya hanya akan melukai dirinya sendiri.