Sinergitas untuk Meningkatkan Daya Saing Global antara Indonesia dan Tiongkok

2024-05-29 12:02:52  

Sukron Makmun

(Intelektual muda NU, Wakil Sekjen PERHATI dan

Analis Geopolitik Internasional)


Saat ini, Tiongkok adalah negara yang paling berhasil. Tiongkok adalah ikon kemakmuran dan kemajuan dunia. Enam tahun lagi bisa menjadi nomor satu menggeser dominasi Amerika. Di era kepemimpinan Xi Jinping, semakin cepat menaiki tangga mencapai level super power. Tiongkok adalah negara yang paling cepat memberantas kemiskinan, dan tercepat pertumbuhan ekonominya. Selama 10 tahun GDP Tiongkok naik lebih dari 100 persen. Belum ada, negara yang GDP-nya bisa naik dua kali lipat. Sebab, ia memegang teguh prinsip meritokrasi tanpa mengabaikan prinsip demokrasi. Awal ia menjabat (2012) GDP Tiongkok USD 6.301. kemudian di akhir masa jabatan periode keduanya (2022), GDP-nya telah mencapai USD 12.000. Kalau dalam periode ketiganya pertumbuhan GDP Tiongkok masih sama, maka secara statistik, ekonomi Tiongkok telah mengalahkan Amerika.


  Indonesia perlu belajar banyak dari Tiongkok. Demikian juga sebaliknya. Sebagai negara yang sama-sama berambisi untuk menjadi pemain penting dalam percaturan politik global, Indonesia dan Tiongkok perlu saling memperkuat win-win cooperation, baik bilateral maupun multilateral, untuk meningkatkan peran signifikan dan daya saing di level regional dan global. Untungnya, hubungan hangat kedua negara ini, semakin menunjukkan perkembangan yang positif.

 

Setelah kunjungan Presiden Xi Jinping ke Indonesia (Oktober 2013), status hubungan Indonesia-Tiongkok meningkat menjadi Kemitraan Strategis Komprehensif. Tiongkok merupakan negara besar yang terletak di ujung Timur benua Asia, sedangkan Indonesia terletak di lokasi poros tengah di antara Samudera Pasifik dan Samudera India yang jaraknya tidak jauh dari Tiongkok. Posisi keduanya sangat penting, sehingga tidak ada alasan untuk tidak bersinergi. Kerjasama yang telah disepakati oleh Presiden Joko Widodo dan Presiden Xi Jinping saat kunjungan ke Tiongkok (Maret 2015) adalah Kemitraan untuk Perdamaian dan Kesejahteraan.


Tiongkok sedang berjuang untuk mencapai Two Centenary Goals, yaitu ketika merayakan 100 tahun PKT secara menyeluruh ingin membangun masyarakat yang sejahtera, dan pada HUT Tiongkok (2030 nanti), secara menyeluruh membangun negara sosialis modern, yang kuat, makmur, beradab dan harmonis. Sementara Indonesia (pada 2011) telah mengumumkan MP3EI untuk periode 2011-2025 dengan merencanakan agar terdaftar dalam 10 negara ekonomi makmur terbesar di dunia pada tahun 2025 mendatang, serta pada 2045, saat HUT RI ke-100 Indonesia ingin menjadi salah satu ekonomi terbesar dunia.


Tiongkok menaruh perhatian besar dalam mengembangkan kerjasama yang bersahabat dengan Indonesia. Indonesia juga dipandang sebagai negara yang diprioritaskan Tiongkok dalam menjalin hubungan luar negeri. Keduanya telah melakukan kerjasama yang baik di bidang pertahanan, kelautan, antariksa dan budaya serta mempertahankan kerjasama dengan organisasi regional dan internasional seperti PBB, G20 APEC, 10+1 dan 10+3. 


Tiongkok merupakan mitra dagang utama Indonesia. Kedua negara ini memiliki potensi kerjasama yang sangat besar di bidang energi, prasarana, pertanian dan perikanan. Keduanya juga memiliki banyak konvergensi kepentingan di bidang iklim, jaringan, angkasa, keamanan kelautan, keamanan non tradisional dan kerjasama dalam menjaga stabilitas kawasan (Asia Timur dan Asia Tenggara). 


Tiongkok dan Indonesia memiliki platform yang dapat diandalkan dalam pembangunan komunitas kepentingan yaitu “Jalan Sutera Baru”. Tiongkok dengan berbagai negara termasuk Indonesia dan negara-negara Eropa bersama-sama membangun “Kawasan Ekonomi Jalan Sutera Baru” dan “Jalan Sutera Maritim” dengan slogan: Berkembang Bersama dan Makmur Bersama. Proyek ini dapat mendorong dua pasar besar di Asia ini, untuk turut menyejahterakan rakyat yang tinggal di sepanjang jalan tersebut. 


Indonesia dan Tiongkok telah memiliki sarana mekanisme kerjasama bilateral, yaitu konsultasi di tingkat menteri koordinator dangan State Councilor; konsultasi tingkat menteri luar negeri, dan pada tingkat pejabat senior. Pada tataran pelaksanaan, ada banyak tolok ukur dan titik referensi bahwa kedua negara harus membangun dan bekerja menuju implementasi visi subtansi Kemitraan Komprehensif Strategis baik di bidang perdagangan, investasi, hubungan antar masyarakat dan bidang-bidang lainnya. 


Di sektor ekonomi, volume perdagangan bilateral meningkat. Secara akumulatif, nilai Ekspor Indonesia per Januari-April 2024 mencapai USD 81,92 Miliar, dengan share terbesar berasal dari ekspor ke Tiongkok (23% dari total ekspor, disusul  Amerika 10,48%), meskipun perlu upaya lebih, agar komoditas Indonesia bisa lebih luas mengakses pasar Tiongkok. Hambatan tarif dan non-tarif perlu dikurangi, serta frekuensi misi perdagangan harus ditingkatkan.


Di sektor investasi, tercatat tren positif kenaikan investasi Tiongkok. Tiongkok saat ini merupakan investor terbesar ke-3 di Indonesia dengan menanamkan modal sebesar USD1,87 miliar (setara dengan Rp.30,3 triliun). Skema investasi Tiongkok era Presiden Jokowi, dasarnya bukan penjajahan tetapi kerjasama mutualistik. Ini berbeda dengan investasi dari negara lain dengan skema hutang di mana pemerintah harus mengeluarkan government bond sebagai collateral.


Pada sektor pariwisata, Tiongkok merupakan negara sumber wisatawan terbesar ke-4 (787,9 ribu kunjungan) bagi Indonesia. Meningkatnya animo masyarakat Tiongkok untuk bepergian ke luar negari dari tahun ke tahun, adalah peluang bisnis bagi para pelaku usaha biro perjalanan, tansportasi, hotel, restoran, toko souvenir dan berbagai usaha kecil terkait. Masyarakat Tiongkok sudah banyak melakukan perjalanan dari Beijing, Shanghai, Guangzhou, dan melalui Hongkong ke Indonesia (Bali, Jakarta, Lombok, Bandung, Yogyakarta, Makassar, Manado, Raja Ampat, Pulau Komodo dan tempat wiasata lainnya). Pemerintah RI bahkan membebaskan visa turis bagi WN Tiongkok. Prinsipnya, pemberian fasilitas bebas visa jika dilakukan secara resiprokal, maka akan memicu perkembangan pariwisata di kedua belah pihak. 


Data arkeolog telah membuktikan bahwa people to people contact antara Indonesia- Tiongkok sudah berlangsung selama lebih dari 2000 tahun. Saat ini, kerjasama di bidang pendidikan dan kebudayaan dalam konteks people to people connection juga menjadi prioritas untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia, sekaligus untuk mempererat hubungan sosial antara kedua bangsa. Hubungan Indonesia-Tiongkok diprediksi akan semakin meningkat, tapi perlu langkah-langkah konkret untuk mewujudkannya, di antaranya sebagai berikut:


1. Perlu adanya evaluasi dan rencana aksi implementasi Kemitraan Strategis Komprehensif yang harus diperbaruhi tiap 5 tahun. 

2. Lebih baik fokus pada hubungan jangka panjang, pragmatis dan berkesinambungan, sehingga program people to people exchange dapat benar-benar bermanfaat bagi rakyat kedua negara.

3. Perlu menentukan tema tahunan yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi kegiatan yang terkait dengan people to people exchange. Sebab itu, perlu dibentuk sekretariat yang berfungsi untuk menyelenggarakan kegiatan seperti loka karya, sekaligus untuk membahas dan menentukan tema tahunan. Tema tidak boleh terlalu luas cakupannya, lebih baik fokus pada suatu hal seperti tahun pertukaran budaya, tahun bahasa Mandarin dan seterusnya.

4. Pengembangan Think-tank perlu ditingkatkan. Karena Think-tank memainkan peranan penting dalam memberikan masukan dan saran kepada para pengambil keputusan, sekaligus sebagai salah satu penghubung utama antara pemerintah kedua negara. Sebab itu, Tiongkok dan Indonesia perlu memiliki suatu Pusat Penelitan untuk mendalami hal-hal yang subtansial. Dalam 10 tahun, misalnya, kedua belah pihak, masing-masing harus mendirikan lebih dari 5 Pusat Penelitian. Kedua belah pihak juga perlu meningkatkan komunikasi antara think-tank yang sudah ada, dan melalukan pembinaan terhadap ahli Tiongkok di Indonesia dan Ahli Indonesia di Tiongkok. Selain itu, perlu mendirikan Pusat Kebudayaan di negara masing-masing. 

5. Memperdalam kerjasama bidang pendidikan, seperti menambah kuota beasiswa dari kedua belah pihak. Upayakan ada beasiswa untuk lulusan pondok pesantren, mengingat alumni pesantren akhir-akhir ini banyak yang menjadi pemimpin dari level lokal sampai nasional. Dan perlu juga diadakan program magang untuk lulusan-lulusan baru (fresh graduated). 

6. Meningkatkan program pertukaran pemuda kedua negara. Pemuda adalah para calon pemimpin bangsa, sehingga menjadi investasi bagi keberlangsungan hubungan kedua negara. 

7. Perlunya pertukaran ide dari tokoh-tokoh masyarakat (civil society leader). Mengingat, di Indonesia, tokoh masyarakat/ tokoh agama, adalah bagian dari infrastruktur sosial di masyarakat. Opini publik kebanyakan masih sangat dipengaruhi oleh opini-opini yang bersumber dari tokoh-tokoh tersebut. Menurut survey, masih ada sekitar 27% dari rakyat Indonesia yang memperlihatkan pandangan negatif terhadap Tiongkok. Sebaliknya, sebagian warga Tiongkok juga masih memandang Indonesia sebagai negara yang diskriminatif terhadap orang Tionghoa. Sebab itu, dengan adanya program kunjungan dua arah para tokoh masyarakat/ tokoh agama dapat mengurangi/ menghilangkan sentimen dan persepsi negatif, kesalahpahaman yang seharusnya tidak berkembang di masyarakat. 

8. Pemerintah Indonesia perlu memperhatikan hal-hal yang dapat mengganggu perkembangan hubungan Indonesia-Tiongkok. Misalnya, harus lebih hati-hati dalam menyikapi hal-hal yang berpotensi memicu kecemburuan sosial di masyarakat. Meningkatnya perdagangan dan investasi Tiongkok di Indonesia, tentu berpengaruh pada peningkatan jumlah pekerja/ teknisi Tiongkok yang datang ke Indonesia. Jangan sampai menimbulkan kesan seolah warga Tiongkok mengambil alih pekerjaan para pekerja/ teknisi lokal Indonesia. Setiap kesan miring dapat memicu semangat anti-Tiongkok.

 

Sinergitas Indonesia-Tiongkok diperlukan untuk mewujudkan visi yang sejalan: Indonesia menuju Poros Maritim Dunia (PMD) dan Tiongkok menjadi Episentrum kekuatan politik dan ekonomi-maritim global melalui strategi kebijakan Maritime Silk Road (MSR) dalam mekanisme Belt and Road Initiative.