Laporan Pelanggaran HAM AS 2023

2024-05-29 16:45:59  

Kata Pengantar

Keadaan Hak Asasi Manusia (HAM) di Amerika Serikat (AS) tahun 2023 terus memburuk. Di AS, HAM sedang berkembang menuju ke arah terpolarisasi. Dibandingkan dengan kaum minoritas yang menduduki posisi dominan di bidang politik, ekonomi dan sosial, mayoritas masyarakat sipil semakin terpinggirkan, hak dasar dan kebebasan mereka tidak efektif. Sebanyak 76 persen warga AS menganggap negaranya sedang berkembang ke arah yang salah.

Di AS, para parpol terlibat dalam pertarungan sengit, pemerintah tidak kompeten, pemerintahan tidak berhasil, hak sipil dan hak politik kurang terjamin. Kedua partai sulit mencapai kesepakatan mengenai pengontrolan senjata, sehingga insiden penembakan massal terus terjadi. Sekitar 43 ribu orang tewas akibat kekerasan senjata, rata-rata setiap hari 117 orang tewas. Polisi menyalahgunakan kekerasan dalam melakukan penegakan hukum, setidaknya 1.247 orang meninggal akibat kekerasan polisi pada tahun 2023, ini merupakan angka tertinggi sejak tahun 2013. Namun, sistem akuntabilitas penegakan hukum sama sekali tidak efektif. AS mempunyai populasi kurang dari 5% dari populasi sedunia, namun jumlah tahanannya mencapai 25% dari jumlah tahanan di seluruh dunia, betul-betul merupakan “Negara Penjara”. Pertarungan sengit antar partai politik AS terus meningkat, pemilu dimanipulasi melalui pembagian daerah pemilihan, Dewan Perwakilan Rakyat AS dua kali menampikan pertunjukan lelucon "sulit memilih ketua", kredibilitas pemerintah terus menurun, kepercayaan rakyat AS terhadap pemerintah federal hanya tercatat 16 persen.

Rasisme di AS sudah mengakar dan situasi diskriminasi ras sangat parah. Pakar PBB menunjukkan bahwa rasisme sistemik terhadap orang Afrika-Amerika telah merambah ke kepolisian dan sistem peradilan pidana AS. Karena diskriminasi ras yang serius di bidang layanan medis, angka kematian ibu hamil keturunan Afrika mencapai hampir tiga kali lipat daripada perempuan kulit putih. Hampir 60% warga keturunan Asia mengatakan mereka menghadapi rasialisme, “Rencana Aksi Tiongkok” yang menargetkan ilmuwan keturunan Tionghoa memiliki dampak negatif yang luas. Ideologi rasisme telah menyebar di media sosial, platform musik, games dan lain-lainnya di AS bahkan di negara lain, dan telah menjadi negara pengekspor utama rasisme ekstrem.

Kesenjangan antara yang kaya dan miskin di AS semakin meningkat. Fenomena “kemiskinan pekerja” menonjol. Sistem jaminan hak ekonomi dan sosial hanyalah omong kosong. Kesenjangan distribusi tenaga kerja dan modal dalam jangka panjang telah mengakibatkan kesenjangan antara yang kaya dan miskin mencapai taraf terparah sejak krisis ekonomi pada tahun 1929. Di AS terdapat 11,5 juta keluarga pekerja yang berpendapatan rendah. Standar upah minimum per jam tidak pernah meningkat sejak tahun 2009, sementara daya beli 1 Dolar AS pada tahun 2023 menurun hingga 70 persen daripada pada tahun 2009. Keluarga berpendapatan rendah sulit membayar kebutuhan sehari-hari termasuk makanan, uang sewa dan energi. Jumlah tunawisma tercatat lebih dari 650 ribu orang, dan mencapai rekor terbaru dalam 16 tahun terakhir ini. “Kemiskinan pekerja” menghacurkan “impian AS” para pekerja giat, dan pada tahun 2023 telah mengakibatkan gelombang pemogokan terbesar sejak abad ke-21.

Hak wanita dan anak-anak di AS dilarang secara sistematis dalam jangka panjang, dan ketentuan konstitusi yang menjamin kesetaraan gender tidak ada. Hingga kini, AS belum meratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. AS juga merupakan negara anggota PBB satu-satunya yang belum meratifikasi Konvensi Hak Anak. Setiap tahun sekitar 54 ribu perempuan di AS menganggur karena mengalami diskriminasi kehamilan. Lebih dari 2,2 juta wanita usia subur kekurangan akses layanan obstetri. Setidaknya 21 negara bagian melarang atau dengan ketat membatasi aborsi. Kematian wanita hamil meningkat lebih dari dua kali lipat dalam dua dekade terakhir ini. Kekerasan seksual di tempat kerja, kampus dan keluarga sering terjadi. Hak hidup dan hak berkembang anak-anak sangat mengkhawatirkan. Sejumlah besar anak dikeluarkan dari Medicaid. Kekerasan senapan menjadi penyebab utama kematian anak-anak. Penyalahgunaan narkoba tersebar dalam kelompok pemuda. Di 46 negara bagian terungkap 34,8 ribu kasus anak asuh hilang yang ditutup-tutupi.

AS adalah negara yang telah mendapat manfaat dari para migran baik secara historis maupun realitas, namun negara ini mempunyai masalah eksklusi dan diskriminasi yang serius terhadap imigran. Dari “Undang-Undang Pengecualian Tionghoa” yang terkenal pada tahun 1882 hingga “Larangan Muslim” pada tahun 2017 yang dikecam luas oleh komunitas internasional, tindakan pengucilan dan diskriminasi terhadap imigran telah tertanam kuat dalam struktur institusi AS. Saat ini, isu imigrasi telah menjadi alat bagi partai-partai untuk bersaing demi mendapatkan keuntungan dan “melimpahkan kesalahan” secara politik. Politisi telah mengabaikan hak-hak individu dan kesejahteraan para imigran, kebijakan imigrasi telah ditiru menjadi pendirian partisan “jika Anda setuju maka saya menentangnya”, dan akhirnya menjadi pertunjukan politik untuk memanfaatkan para pemilih. Kekacauan imigrasi terjerumus ke dalam lingkaran setan yang tidak dapat dihancurkan, dimana para imigran dan anak-anak menjadi sasaran penangkapan massal, perdagangan manusia dan eksploitasi, serta perlakuan kejam lainnya. Polarisasi politik dan sifat munafik hak asasi manusia AS terlihat jelas dalam masalah imigrasi.

AS telah lama menjalankan hegemoni, politik kekuasaan, menyalahgunakan kekuatan, dan menerapkan sanksi sepihak. Mereka terus mengirimkan munisi tandan dan senjata lainnya ke negara-negara lain, sehingga memperburuk ketegangan regional dan konflik bersenjata derah, serta mengakibatkan banyak korban sipil dan krisis kemanusiaan yang serius. Mereka telah melakukan operasi “agen asing” secara semena-mena, merusak stabilitas sosial negara lain dan melanggar hak asasi manusia negara lain. Hingga kini, mereka juga menolak untuk menutup Teluk Guantánamo.

 

"Laporan Pelanggaran HAM AS 2023" (Ringkasan)


Kantor Berita Xinhua Rabu hari ini (29/5) melaporkan, Kantor Penerangan Dewan Negara Tiongkok merilis "Laporan Pelanggaran Hak Asasi Manusia AS tahun 2023". Ringkasan laporan tersebut sebagai berikut:

Kondisi HAM di AS pada tahun 2023 terus memburuk. Di AS, HAM berkembang ke arah yang semakin terpolarisasi. Dibandingkan dengan segelintir masyarakat yang menduduki posisi dominan di bidang politik, ekonomi dan sosial, mayoritas masyarakat sipil semakin terpinggirkan, hak-hak dasar dan kebebasan mereka semkain diremehkan.

Kekerasan senjata api masih menjadi penyakit kronis yang tak bisa dihentikan, kebijakan pengendalian senjata api oleh pemerintah tidak efektif. Pada tahun 2023, setidaknya terjadi 654 penembakan massal di AS. Kekerasan senjata membunuh hampir 43.000 orang, rata-rata 117 orang meninggal setiap hari. Di bawah dorongan kelompok tertentu, semakin banyak pemerintah negara bagian AS yang mengeluarkan undang-undang memperluas hak warga sipil untuk memiliki dan membawa senjata. Pada tahun 2023, setidaknya 27 negara bagian di AS diizinkan membawa pistol tanpa surat izin.

 

Pemerintah menyalahgunakan kekuasaannya untuk memantau privasi warga negara, kebebasan berbicara dan berpendapat terus ditekan. FBI AS mengalihkan Pasal 702 dalam Undang-Undang Pengawasan Intelijen Asing untuk melakukan pengawasan di dalam negeri, melakukan pengawasan "ekstensif dan terus-menerus" terhadap alat telekomunikasi anggota Kongres, donatur kampanye kongres, dan pengunjuk rasa anti-rasisme. Semakin banyak negara bagian mengeluarkan undang-undang yang melarang penggunaan materi dan buku pendidikan di sekolah umum tentang topik tertentu seperti ras, sejarah, gender dan lain-lainnya. Di kampus-kampus AS, jumlah dosen dan staf yang dihukum atau dipecat karena pidato atau ekspresi mereka telah mencetak rekor tertinggi selama 20 tahun ini.

 

Jumlah kematian akibat penyalahgunaan kekerasan polisi masih tinggi, dan sistem akuntabilitas polisi dalam penegakan hukum tidak efektif. Pada tahun 2023, polisi AS telah menewaskan sedikitnya 1.247 orang, dan rata-rata paling sedikit 3 orang tewas oleh polisi setiap hari. Departemen urusan dalam kepolisian sering kali lebih tertarik untuk membebaskan anggota polisi dari tuduhan daripada menyelidiki tindakan pelanggaran hukum, sehingga tanggung jawab polisi sulit diusut. 

 

Masalah penahanan massal dan kerja paksa menjadi hal yang menonjol, sehingga menjadikan AS benar-benar sebagai“negara penjara.” Populasi AS menduduki sekitar 5% dari populasi dunia, namun jumlah narapidananya mencapai 25% dari jumlah narapidana di dunia. Penjara memaksa narapidana untuk bekerja dengan upah rendah atau tanpa tunjangan, menghasilkan barang dan jasa senilai miliaran dolar setiap tahunnya.

 

Perjuangan partai politik terus meningkat, dan pemilu dimanipulasi dengan kecurangan. Dalam Kongres AS ke-118, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dua kali gagal memilih ketuanya. Terdapat 16 negara bagian yang secara nyata melakukan manipulasi dalam pemilihan distrik kongres, dan 12 di antaranya adalah “negara bagian yang dengan serius memanipulasi distrik mereka secara keseluruhan.” Mayoritas masyarakat sipil di AS sangat kecewa dengan berbagai lapisan pemerintahan federal dan politiknya, 76% masyarakat AS percaya bahwa negara mereka berkembang ke arah yang salah.

 

Etnis minoritas menghadapi diskriminasi rasial yang sistemik, dan penyakit rasisme memiliki dampak yang luas. Kemungkinan orang AS keturunan Afrika yang tewas di tangan polisi tiga kali lipat daripada orang kulit putih, dan kemungkinan untuk dipenjara 4,5 kali lipat dari orang kulit putih. Hampir tiga perempat orang AS keturunan Tionghoa pernah mengalami diskriminasi rasial dalam satu tahun terakhir, dan 55% orang AS keturunan Tionghoa khawatir terhadap kejahatan rasial atau pelecehan yang dapat membahayakan keselamatan mereka. Penduduk asli Indian Amerika selalu hidup di bawah penindasan budaya, keyakinan agama dan tradisi mereka dikekang dengan kejam. Ideologi rasis telah menyebar dengan kejam di AS hingga ke luar negeri.

 

Ketidakseimbangan ekonomi dan sosial semakin meningkat dari hari ke hari, dan masyarakat yang berada di lapisan bawah menjalani kehidupan yang sulit. AS selalu menolak untuk meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Di bawah sistem negara yang menghisap kelas miskin tapi mensubsidi kelas kaya, kesenjangan antara masyarakat yang kaya dan miskin di AS telah mencapai tingkat paling serius sejak ‘Depresi Besar’ (krisis ekonomi terburuk) tahun 1929. “Pekerja miskin” yang terjebak dalam kemiskinan tidak memiliki kesetaraan dan kesempatan yang adil. Jumlah tunawisma melebihi 650.000 orang, mencetak rekor baru sejak statistik mulai dikumpulkan pada tahun 2007. Penyalahgunaan narkoba dan obat-obatan terus merajalela. Tingkat bunuh diri terus meningkat.

 

Sejauh ini, AS belum meratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, AS pun adalah satu-satunya negara di PBB yang belum meratifikasi Konvensi Hak Anak.

Konstitusi AS sejauh ini tidak berisi tentang larangan diskriminasi gender, dan merupakan satu-satunya negara di dunia yang menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada anak-anak tanpa pembebasan bersyarat. Jumlah kematian ibu hamil di AS meningkat dua kali lipat dalam 20 tahun terakhir, dan lebih dari 2,2 juta wanita usia subur AS tidak memiliki akses terhadap layanan obstetrik. Paling sedikit 21 negara bagian mempunyai perintah yang melarang atau sangat membatasi aborsi. Sekitar 54.000 perempuan kehilangan pekerjaan setiap tahun karena diskriminasi kehamilan. Jutaan anak tidak mendapatkan tunjangan Medicare. Ribuan anak asuh hilang setiap tahun, dan 6 negara bagian tidak melaporkan sekitar 34.800 kasus anak asuh yang hilang.

 

Krisis kemanusiaan di wilayah perbatasan telah meningkat, dan penderitaan para imigran sangat mengejutkan.  Perbatasan selatan AS dinilai oleh Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) sebagai rute migrasi darat paling mematikan di dunia. Dalam 12 bulan yang berakhir pada 30 September 2023, 149 imigran tewas di Patroli Perbatasan Sektor El Paso. Pada tahun fiskal 2023, jumlah total imigran yang ditangkap atau dideportasi di perbatasan selatan AS mencapai lebih dari 2,4 juta, yang menjadi rekor tertinggi lainnya. Imigran yang memasuki negara tersebut menjadi sasaran penyiksaan dan mengalami perlakuan tidak manusiawi lainnya.

Negara ini telah lama menerapkan hegemonisme, unilateralisme, dan politik kekuasaan, sehingga mengakibatkan krisis kemanusiaan. Setelah insiden "9·11", total korban tewas di daerah-daerah AS melakukan perang "anti-terorisme" di luar negeri setidaknya berjumlah 4,5 juta hingga 4,7 juta orang. Militer AS telah meluncurkan “program agen asing” di lebih dari selusin negara, melanggar kedaulatan dan hak asasi manusia negara lain. Mereka terus menyediakan senjata ke daerah konflik, sehingga mengakibatkan banyak korban sipil tewas. Penjara Guantanamo, yang melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia masih beroperasi hingga saat ini. AS telah lama menerapkan sanksi secara sembarangan, dengan jumlah sanksi menduduki peringkat pertama di dunia, dan mengakibatkan konsekuensi kemanusiaan yang sangat buruk.

 

Berbagai masalah HAM di AS tersebut, tidak hanya membuat segelintir orang memilik hak istimewa, namun juga telah dengan serius mengancam dan menghalangi perkembangan sehat usaha HAM di dunia.