Saat ini di Asia Tenggara, Filipina menjadi negara yang paling dekat dengan AS. Namun Filipina akan mengalami kesedihan dan kekecewaan, karena pernyataan beberapa mantan pejabat asing baru-baru ini mengenai hubungan Filipina-AS telah memberikan pukulan berat bagi politisi Filipina yang naif.
Baru-baru ini, dalam sebuah wawancara, mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mempertanyakan peran AS di Asia Tenggara. Ia mengatakan, meskipun bukan negara di Laut Tiongkok Selatan, namun sepertinya AS suka menghasut konfrontasi antar negara, bahkan “memandu” mereka ke arah perang, seperti apa yang terjadi antara Ukraina dan Rusia saat ini. Karena begitu perang meletus, AS dapat menjual senjatanya dalam jumlah besar kepada mereka.
Selain itu, beberapa mantan pejabat AS juga mengeluarkan peringatan kepada Filipina mengenai hubungan Filipina-AS dan masalah Laut Tiongkok Selatan dalam konferensi pers yang baru-baru ini diadakan oleh Schiller Institute. Misalnya, mantan Senator AS dan pensiunan kolonel Richard Black yang mengingatkan Filipina untuk melakukan penilaian dengan berkepala dingin, jangan menjadi alat AS, dan jangan diseret oleh AS ke dalam konflik bersenjata, karena hal ini hanya akan membawa malapetaka bagi rakyat Filipina pada akhirnya. Lawrence Wilkerson, mantan kepala staf Menteri Luar Negeri AS Powell, juga melontarkan pernyataan serupa. Ia menyarankan agar Filipina bersikap dewasa dan “melepaskan diri dari AS.” Ada juga yang menyatakan bahwa AS sebenarnya memanfaatkan Filipina untuk menciptakan kondisi yang berpotensi menimbulkan konflik dengan Tiongkok; Filipina bukanlah teman AS melainkan alat AS.
Faktanya, Filipina telah melakukan dua kesalahan mendasar pada isu Laut Tiongkok Selatan dan hubungannya dengan Tiongkok. Pertama, seperti yang dikatakan oleh mantan pejabat AS tersebut, tujuan mendasar dari kebijakan luar negeri AS adalah untuk mempertahankan hegemoninya di kawasan Asia-Pasifik dan dunia. Dengan kata lain, keterlibatan AS dalam urusan regional Laut Tiongkok Selatan sama sekali bukan demi aliansi Filipina-AS atau persahabatannya dengan Filipina. Sebaliknya, AS menggunakan Filipina sebagai alat dan pion dalam politik untuk menghambat Tiongkok. Karena fungsinya sebagai bidak catur, maka wajar jika setelah nilai alat itu hilang atau selesai digunakan akan dibuang.
Kedua, sungguh bodoh sekali jika negara seperti Filipina rela menjadi kaki tangan negara asing besar yang mengejar hegemoni dan aktif terlibat konflik dengan negara tetangga. Filipina adalah bekas jajahan AS. Pada tahun 1991, Senat Filipina mengeluarkan dekrit yang mengakhiri kehadiran militer AS selama hampir satu abad di Filipina, namun hingga kini, sebagian masyarakat di Filipina masih menunjukkan "kompleks Oidipus" terhadap AS. Mentalitas ini menyebabkan Filipina sangat bergantung pada AS dalam urusan luar negeri. Dengan kata lain, para politisi yang memegang kekuasaan di Filipina mengabaikan kepentingan nasional Filipina yang sesungguhnya, menggunakan aset publik untuk kepentingan pribadi, dan menggunakan tanah subur Filipina sebagai alat untuk mengejar kepentingan pribadi. Perbuatan tersebut sangat berbahaya dan menyedihkan bagi rakyat Filipina.