Gedung Putih AS baru-baru ini mengumumkan, karena sibuk menangani bencana badai, Presiden Biden telah menunda kunjungannya ke Jerman dan Angola yang semula dijadwalkan pada pertengahan Oktober. Di antaranya, kunjungan ke Angola merupakan komitmen Biden yang diberikannya pada lebih dari satu tahun yang lalu, dan terus ditundanya hingga saat ini. Kini, masa jabatannya hanya tinggal kurang dari 3 bulan, sedangkan kampanye pemilu AS semakin sengit, terwujud tidaknya rencana kunjungannya ke Afrika masih belum pasti. Hal tersebut membuat masyarakat mengingat bahwa sejumlah komitmen AS kepada Afrika akhirnya pun hanyalah umbaran janji.
Berbicara tentang investasi AS di Afrika, para politikus selalu suka memamerkan proyek barunya, yaitu “Koridor Lobito”, lokasinya tepat di Angola, negara yang rencananya akan dikunjungi Presiden Biden.
Angola terletak di bagian selatan Afrika, Atlantik Barat, Angola adalah negara penghasil minyak bumi utama di Afrika dan memiliki sumber daya mineral yang kaya. Dalam KTT G7 yang digelar bulan Mei tahun 2023, AS bersama negara sekutunya untuk pertama kali melontarkan rencana pembangunan “Koridor Libito”. Proyek tersebut adalah jaringan kereta yang menghubungkan Angola, Kongo(Kinshasa) dan Zambia. Koridor tersebut disebut Presiden AS sebagai “investasi kereta terbesar di Afrika dalam sejarah”.
Direktur Lembaga Studi Afrika dari Institut Hubungan Internasional Kontemporer Tiongkok, Li Wentao berpendapat bahwa “AS sekuat tenaga menggembar-gemborkan ‘Koridor Lobito’ untuk mencuri reputasi.”
Jauh pada awal abad ke-20, kereta rute utama tersebut sudah dirampungkan oleh kolonialis Portugal, dan digunakan hingga tahun 1970-an abad lalu. Kemudian, rel keretanya mengalami kerusakan serius akibat perang saudara Angola. Selama tahun 2006-2014, perusahaan Tiongkok berpartisipasi dalam pembangunan kembali kereta Benguela dalam bentuk kontrak, nilai investasi proyek total mencapai 1,83 miliar dolar US, perancangan dan konstruksinya semua menggunakan standar pembangunan kereta api Tiongkok. Bulan Februari tahun 2015, kereta Benguela diresmikan. Sedangkan apa yang disebut sebagai rute “Koridor Lobito” yang perbarui itu hampir sepenuhnya tumpang tindih dengan kereta Benguela yang dibangun oleh Tiongkok.
Li Wentao berpendapat bahwa AS mencoba mendandani “Koridor Lobito ” sebagai kontribusi AS dan Eropa terhadap infrastruktur Afrika, tapi hal tersebut sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan. Karena kerangka intinya sudah dirampungkan oleh Tiongkok, Tiongkok barulah kontributor terbesar. Web resmi “Koridor Lobito” pun menyebutkan, “Tanpa investasi ribuan juta dolar US Tiongkok untuk membangun kembali kereta Benguela dan memperbesar pelabuhan Lobito, ‘Koridor Lobito’ tidak akan seperti sekarang”.
Jadi mengapa AS begitu mementingkan rute kereta tersebut? Karena rute tersebut melintasi jalur tambang tembaga dan kobalt yang paling terkenal di Afrika, yang memiliki 80% cadangan kobalt, 25% cadangan tembaga di dunia dan sejumlah besar logam tanah jarang.
AS menyebut dirinya sebagai “negara pemberi bantuan terbesar kepada negara lain di dunia”, dan telah memberikan berbagai bentuk bantuan kepada Afrika. Pada KTT AS-Afrika yang digelar pada bulan Desember tahun 2022, AS sudah berkomitmen untuk menanam modal sebesar 55 miliar dolar US untuk mendukung “Agenda Uni Afrika tahun 2063”. Menurut informasi dari Kedubes AS di Tiongkok, bulan Agustus lalu, AS mengumumkan untuk menambahkan bantuan kemanusiaan sebesar 536 juta dolar kepada daerah Afrika di selatan Sahara, dan menyebut bahwa hingga kini, jumlah total bantuan kemanusiaan AS kepada daerah tersebut di tahun fiskal 2024 sudah mendekati 3,7 miliar dolar US.
Secara harafiah, dana bantuan AS kepada Afrika memang cukup besar. Akan tetapi dana yang diumumkan tersebut sebenarnya tidak semuanya digunakan untuk rakyat Afrika.
Sebagian besar dana bantuan AS kepada Afrika justru dikantongi sendiri oleh AS. Menurut beberapa cendekiawan dan ahli yang sering melakukan penelitian dengan lembaga terkait AS, selama memberikan bantuan pada Afrika, rekan-rekan mereka menikmati berbagai perlakuan istimewa seperti berbagai macam subsidi, biaya penelitian dan penginapan hotel berbintang lima, dan semua biaya ditanggung oleh proyek bantuan AS untuk Afrika. Setiap tahun terdapat berbagai rombongan ahli yang datang ke Afrika, dan biaya perjalanan mereka sangat besar. Selain itu, biaya berbagai yayasan AS untuk mengadakan aktivitas di Afrika juga dimasukkan dalam perencanaan jumlah dana bantuan.
Berapa pun besar dana bantuan yang diumumkan, sebagian besar adalah pertunjukkan politik AS yang bertujuan untuk memaksimalkan kepentingannya sendiri. Mengatasnamakan “invesatsi” dan “bantuan” untuk melakukan hegemoni dan penindasan serta mencoba mempertahankan daya pengaruhnya di Afrika, jika AS bertindak demikian, pada akhirnya mereka pasti akan kehilangan dukungan masyarakat Afrika.