Kunjungan kenegaraan Presiden Prabowo Subianto ke China pada November 2024 menandai babak baru dalam hubungan bilateral antara Indonesia dan China. Pertemuan dengan Presiden Xi Jinping, Perdana Menteri Li Qiang, dan Ketua Kongres Rakyat Nasional Zhao Leji menunjukkan tingkat hubungan strategis yang semakin erat. Di tengah dinamika global yang berubah, hubungan ini mencerminkan upaya kedua negara untuk memperkuat kerja sama regional dan internasional, khususnya dalam konteks negara-negara berkembang.
Dari sudut pandang teori hubungan internasional, pertemuan ini relevan dalam menganalisis pendekatan Post-western Regionalism dan konsep Tianxia (Tianxia digunakan untuk menggambarkan tatanan dunia yang ideal, di mana semua wilayah dan masyarakat dianggap berada di bawah satu atap kosmologis yang dikelola oleh pemimpin yang berbudi luhur) yang diusung China. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana hubungan China-Indonesia dalam kerangka Belt and Road Initiative (BRI) dapat dilihat sebagai perwujudan konkret dari gagasan regionalisme baru yang inklusif dan fleksibel.
Post-western Regionalism dan Hubungan China-Indonesia
Konsep ini menawarkan alternatif terhadap pendekatan regionalisme tradisional yang sering didominasi oleh negara-negara Barat. Dalam konteks ini, Belt and Road Initiative (BRI) menjadi platform penting bagi China untuk membangun jaringan kerja sama yang luas dengan negara-negara di Asia, Afrika, dan Eropa. Hubungan dengan Indonesia, sebagai salah satu negara kunci di kawasan Asia Tenggara, mencerminkan bagaimana China berupaya membangun model regionalisme yang lebih fleksibel dan saling menguntungkan.
Kunjungan Prabowo ke China menyoroti pentingnya kerja sama bilateral dalam berbagai bidang, termasuk ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Xi Jinping secara eksplisit menyatakan dukungan terhadap pemerintahan Prabowo, menegaskan bahwa di bawah kepemimpinannya, Indonesia akan tetap berada di jalur pembangunan yang mandiri. Pernyataan ini mencerminkan prinsip Tianxia, di mana hubungan antara negara didasarkan pada rasa saling hormat dan kerja sama yang harmonis, bukan dominasi satu pihak atas pihak lain.
Tianxia: Kepemimpinan Berbudi Luhur dan Keseimbangan Kekuatan
Konsep Tianxia berakar pada filosofi Konfusianisme yang menekankan pentingnya kepemimpinan berbudi luhur (De). Dalam hubungan China-Indonesia, dukungan Xi terhadap pemerintahan Prabowo mencerminkan upaya untuk mempraktikkan prinsip ini. Xi memuji stabilitas politik Indonesia dan menyoroti transisi pemerintahan yang mulus sebagai pencapaian penting.
Namun, Tianxia juga menekankan pentingnya kekuatan material (Wei) sebagai pelengkap dari kepemimpinan berbudi luhur. Kerja sama ekonomi melalui BRI menunjukkan bagaimana China menggunakan kekuatan materialnya untuk mendukung pembangunan di negara mitra. Dalam konteks Indonesia, proyek-proyek infrastruktur yang didanai oleh China menjadi contoh nyata bagaimana pemberian hadiah (gift-giving) dapat memperkuat hubungan bilateral.
Dari perspektif ini, hubungan China-Indonesia tidak hanya bersifat transaksional, tetapi juga mencerminkan upaya untuk membangun kekerabatan diplomatik yang mendalam. Hal ini sesuai dengan prinsip Konfusian bahwa hubungan antarnegara harus didasarkan pada saling pengertian dan kerja sama yang setara.
Regionalisme Inklusif: Menantang Dominasi Barat
Salah satu aspek penting dari BRI adalah upayanya untuk menciptakan tatanan global yang lebih inklusif. Xi Jinping menegaskan bahwa BRI bukanlah aliansi geopolitik atau militer, tetapi sebuah proses yang terbuka dan inklusif. Ini bertentangan dengan pendekatan regionalisme Barat yang sering kali eksklusif dan didasarkan pada kepentingan strategis tertentu.
Dalam konteks ini, Indonesia dan China dapat dilihat sebagai mitra strategis dalam membangun regionalisme tanpa batas. Xi menyoroti pentingnya kerja sama antara negara-negara berkembang dalam menghadapi tantangan global. Prabowo, dalam pertemuannya, menegaskan bahwa kedua negara memiliki peran penting sebagai anggota utama Global South, yang selalu mendukung satu sama lain dalam upaya mencapai pembangunan nasional.
Tantangan dan Kritik terhadap Post-western Regionalism
Meskipun konsep regionalisme pasca-Barat menawarkan banyak potensi, ia juga menghadapi tantangan dan kritik. Salah satu kritik utama adalah persepsi bahwa BRI merupakan bentuk baru dari hegemoni China. Beberapa pihak menuduh China menggunakan BRI untuk memperluas pengaruhnya dan menciptakan ketergantungan di negara-negara mitra.
Dalam konteks Indonesia, tantangan ini terlihat dalam kekhawatiran tentang transparansi dan keberlanjutan proyek-proyek yang didanai oleh China. Ada juga kekhawatiran bahwa ketergantungan pada investasi China dapat mengurangi otonomi Indonesia dalam mengambil keputusan strategis. Namun, dari perspektif Tianxia, hubungan ini dapat dilihat sebagai bagian dari upaya membangun jaringan kerja sama yang saling menguntungkan, di mana setiap negara memainkan peran sesuai dengan kapasitas dan kebutuhan mereka.
Masa Depan Hubungan China-Indonesia: Nasionalisme vs. Tianxia
Salah satu pertanyaan kunci dalam analisis hubungan China-Indonesia adalah bagaimana menyeimbangkan motivasi nasionalisme dan prinsip Tianxia. Nasionalisme cenderung menekankan kepentingan nasional dan kedaulatan, sementara Tianxia menekankan hubungan yang harmonis dan inklusif. Dalam praktiknya, kedua pendekatan ini sering kali berbenturan.
Indonesia, di bawah kepemimpinan Prabowo, menghadapi tantangan untuk memastikan bahwa kerja sama dengan China tetap sejalan dengan kepentingan nasional. Di sisi lain, China berupaya untuk mempromosikan visinya tentang Post-western Regioalism tanpa terlihat sebagai kekuatan hegemonik. Keseimbangan antara kedua pendekatan ini akan menjadi faktor penentu dalam hubungan bilateral di masa depan.
Implikasi Global
Hubungan China-Indonesia dalam kerangka BRI memiliki implikasi yang luas untuk tatanan global. Ini mencerminkan upaya untuk menciptakan model regionalisme yang lebih inklusif dan fleksibel, yang menantang dominasi pendekatan Barat. Namun, keberhasilan model ini bergantung pada kemampuan kedua negara untuk mengatasi tantangan dan kritik yang muncul.
Dalam konteks teori hubungan internasional, hubungan ini memberikan kontribusi penting terhadap pengembangan teori IR non-Barat. Ini menyoroti bagaimana pendekatan alternatif seperti Tianxia dapat memberikan wawasan baru tentang dinamika hubungan internasional di dunia yang semakin multipolar.
Akhirnya, hubungan China-Indonesia melalui BRI menunjukkan bahwa Post-western Regionalism bukan hanya teori, tetapi sebuah praktik yang sedang berkembang. Dengan memahami dan mengintegrasikan prinsip-prinsip ini, kedua negara dapat memainkan peran kunci dalam membentuk tatanan global yang lebih adil dan inklusif.
Harryanto Aryodiguno, Ph.D