
Baru-baru ini, Senat AS mengeluarkan rancangan undang-undang yang punya 281 halaman, yaitu Rancangan Undang-undang Kompetisi Strategis 2021, untuk menuntut pemerintah Biden mengambil kebijakan yang “persaingan strategis” secara komprehensif dengan Tiongkok, demi melindungi dan mendorong "kepentingan dan nilai " AS. Sampai sekarang, rancangan undang-undang tersebut telah dilulus oleh Komite Luar Negeri Senat AS, dan akan diserahkan ke Kongres AS untuk dibahas. Sejauh ini, segelintir politikus AS seolah terinfeksi penyakit “Sinophobia” dan selalu menganggap Tiongkok sebagai predator atau banjir bah, dan menjalankan kebijakan anti-Tiongkok secara tuntas.

Sebenarnya, di dalam rancangan undang-undang ini tidak terdapat ide baru, kebanyakan adalah tindakan yang dikeluarkan pada masa pemerintah Trump, seperti kombinasi dengan kebijakan, hukum dan perintah administrasi AS tahun-tahun ini mengenai Tiongkok. Namun arti spesialnya ialah RUU ini adalah RUU paling komprehensif dari Kongres AS dalam beberapa tahun ini, yang meliputi penyusunan strategi diplomatik, pengeluaran nilai AS, inovasi ilmiah dan teknologi, perlindungan ekonomi dan perdagangan, peningkatan tenaga militer, pembangunan infrastruktur, hubungan sekutu dan lain sebagainya, merupakan aksi terbaru pemerintah AS untuk memukul Tiongkok. Politikus-politikus AS sedang berusaha menyatukan kekuatan dua partai, kongres, sekutu dalam dan luar negeri untuk menanggapi apa yang disebut “ancaman” Tiongkok. Senat AS bahkan secara terang-terangan menyatakan bahwa “RUU tersebut mewakili kerja sama dua partai yang belum pernah terjadi dalam sejarah", dan "semua alat strategis, ekonomi dan diplomatik akan dimobilisasi untuk melawan kekuatan global Tiongkok yang bangkit”.

Kebetulan, baru-baru ini anggota Parlemen Eropa Mick Wallace dalam videonya menilai tinggi prestasi yang dicapai Tiongkok dalam pengentasan kemiskinan, meredakan masalah perubahan iklim, serta melawan pandemi Covid-19, dan bertanya kepada politikus-politikus yang menentang Tiongkok, "Mengapa kita mengambil sikap yang agresif terhadap Tiongkok? Mengapa kita tidak memilih kerja sama? Mengapa kita tidak menghormati kedaulatan, tidak mempertahankan prinsip yang tidak mencampuri urusan dalam negeri lain? "

Seperti apa yang disebut Mick Wallace, sebagai negara yang “populasinya melampaui 1,4 miliar orang, tidak pernah mengagresi, tidak pernah melancarkan serangan bom dan tidak pernah mengenakan sanksi kepada negara manapun”, Tiongkok seharusnya memperoleh kehormatan dan perlakuan sama derajat dari dunia. Namun, yang menyesal ialah sejumlah politikus AS dan negara-negara Barat selalu berpegang teguh pada pemikiran perang dingin, terjerumus dalam perangkap konfrontasi ideologi, mengabaikan ketulusan Tiongkok untuk berkembang secara damai dan menang bersama, meremehkan upaya Tiongkok yang dengan aktif menghadapi tantangan yang dihadapi umat manusia sedunia, sedangkan selalu memfitnah Tiongkok dengan maksud jahat, menindas perkembangan Tiongkok, serta selalu melihat Tiongkok dari kacamata yang sempit.

Selama 40 tahun lebih sejak kebijakan reformasi dan keterbukaan dilaksanakan, Tiongkok telah mengalami perubahan signifikan. Tiongkok telah menjadi pembangun perdamaian dunia, kontributor pembangunan global, serta pemelihara ketertiban internasional, pengaruh Tiongkok makin lama makin besar. Namun, ketika menghadapi Tiongkok yang bangkit, sejumlah politikus Barat yang terbiasa dengan sikap maharaja dan sewenang-wenang, menolak menghadapi Tiongkok dengan objektif, bahkan nekat melakukan konfrontasi dengan Tiongkok dengan bertolak dari pikiran Zero-sum, karena mereka menganggap dengan cara ini akan memblokir perkembangan Tiongkok, sehingga terus melakukan hegemonisme.

Ambil contoh dengan RUU Senat AS yang penuh dengan kesalahpahaman dan kecemasan terhadap Tiongkok, politikus-politikus AS yang terinfeksi “fobia Tiongkok” justru memperlihatkan mereka yang gagal menyelesaikan masalah AS sendiri. Jika AS sungguh-sungguh hendak memelihara kepemimpinan dunia, seharusnya berani mengadakan reformasi dan penyesuaian diri, jika demikian, AS akan memperoleh lebih banyak manfaat dari hubungan Tiongkok-AS.

Sesudah Joe Biden menjabat sebagai presiden AS, pemerintah Biden telah menyampaikan sedikit sinyal positif, Tiongkok dan AS juga mencapai sejumlah kemajuan dalam dialog strategis 2+2 dan masalah perubahan iklim. Sedangkan politikus-politikus AS yang menentang Tiongkok mengkhawatirkan kebijakan pemerintah Biden terhadap Tiongkok akan dilunakkan pada masa depan, maka mereka hendak meluluskan "Undang-Undang Persaingan Strategis" sebelum kebijakan luar negeri pemerintah AS terbentuk sepenuhnya, demi memberi tekanan kepada pemerintah Biden dan menjerumuskan hubungan kedua negara dalam persaingan dan konfrontasi yang tuntas.

Dewasa ini, hakikat persaingan Tiongkok-AS adalah persaingan yang dipicu oleh AS untuk menghalangi perkembangan Tiongkok demi memelihara hegemoni dan dunia unipolar AS. Apakah Tiongkok dan AS dapat mendirikan kerangka hubungan yang bermanfaat bagi kedua negara dan dunia, terutama tergantung pada apakah AS dapat secara obyektif dan rasional memandang kebangkitan Tiongkok dan perubahan pola dunia, dan membentuk strategi terhadap Tiongkok yang bijaksana, masuk akal, dan layak. Jika membiarkan sejumlah politikus hanya mempertimbangkan kepentingan mereka sendiri, hubungan Tiongkok-AS akan berada dalam situasi yang berbahaya.
Perkembangan Tiongkok membawa peluang bukan ancaman kepada dunia. Seperti apa yang dinyatakan juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Hua Chunying, “Kami tidak pernah bertujuan untuk melampaui AS, target kami adalah terus meningkatkan dan melampaui diri sendiri, membangun Tiongkok menjadi yang lebih bagus, rakyat Tiongkok dapat menikmati kehidupan yang lebih indah, sementara itu perkembangan Tiongkok dapat menyumbangkan lebih banyak kontribusi untuk perdamaian dan pembangunan dunia.”

