Kompensasi “Penjara Gelap” Datang Terlambat

2022-01-12 12:26:33  

Kompensasi “Penjara Gelap” Datang Terlambat

Karena kompensasi yang terlambat selama 3 tahun, Abu Zubaydah yang dijuluki sebagai narapidana permanen, baru-baru ini kembali mengundang perhatian seluruh dunia. Pada tahun 2018, Mahkamah HAM Eropa memvonis bahwa tindakan pemerintah Lituania yang mengizinkan CIA AS menahan Zubaydah di penjara gelap AS telah melanggar hukum Eropa tentang pelarangan penggunaan penyiksaan dan menuntut pemerintah Lituania membayar kompensasi sebesar 100 ribu Euro kepada Zubaydah. Setelah berselang 3 tahun, pemerintah Lituania baru-baru ini mengumumkan pembayaran kompensasi tersebut.

Pembayaran kompensasi itu berarti, pemerintah Lituania mengakui perbuatan pelanggaran HAM-nya dan membenarkan adanya penjara gelap AS di luar negeri. Seusai peristiwa 11 September 2001, AS membangun penjara rahasia di luar negeri untuk menahan apa yang disebutnya sebagai tersangka teroris dan melakukan penyiksaan. Warganegara Palestina Zubaydah adalah salah satu napi yang ditahan di penjara gelap AS.

Selama 20 tahun ini, Zubaydah pernah ditahan di penjara rahasia Lituania, penjara Guantanamo Kuba dan penjara gelap lain CIA di luar negeri AS, dan ia telah mengalami berbagai penyiksaan. Akan tetapi, AS sejauh ini belum dapat mengeluarkan bukti apa pun tentang hubungan Zubaydah dengan Al Qaeda dan juga belum dapat mengajukan gugatan. Pada tahun 2011, Zubaydah mengajukan dakwaan kepada Mahkamah HAM Eropa. Dengan demikian, penjara gelap AS di luar negeri menjadi bukti kuat catatan buruk HAM AS yang sembarangan melakukan penahanan.

Kompensasi “Penjara Gelap” Datang Terlambat

Banyak analis berpendapat, pemerintah Lituania membayar uang denda tersebut atas tuntutan dari Washington. Di bawah tekanan opini umum internasional, pihak AS ternyata ingin secepat mungkin mengakhiri hal tersebut. Padahal, Zubaydah sulit memperoleh uang kompensasi itu karena dirinya kini masih ditahan di penjara Guantanamo, dan pemerintah AS masih membekukan seluruh asetnya. Menurut harian Guardian Inggris, uang kompensasi 100 ribu Euro yang diperoleh Zubaydah kini masih berada di dalam sebuah rekening bank.

Padahal, kompensasi 100 ribu Eropa itu tidak sampai sepersepuluh ribu hutang HAM yang ditanggung AS. Di Penjara Guantanamo, tidak sedikit napi yang memiliki pengalaman yang hampir sama seperti  Zubaydah. Pakar independen dari Dewan HAM PBB menunjukkan, ratusan orang dibawa ke sini dan dirampas hak dasarnya, disiksa dan diperlakukan dengan kejam, tidak berkemanusiaan dan direndahkan secara sistematis. Menurut statistik PBB, pada tahun 2003, di Guantanamo ditahan 700 orang napi, sejauh ini masih ada 39 orang ditahan dan hanya 9 di antaranya digugat dan divonis berbuat kejahatan dan divonis bersalah, sedangkan 13 orang lain telah mendapat izin dipindahkan. Dari tahun 2002 hingga 2021, 9 orang yang ditahan tewas, dua orang di antaranyanya meninggal secara alami dan 7 orang lainnya dinyatakan bunuh diri. Dari 9 orang itu, tiada satupun yang digugat atau divonis bersalah.

Dapat terlihat, di Penjara Guantanamo, hakim AS berbuat semena-mena dan secara tuntas merobek topeng palsu “pembela HAM”. Pantas saja para pakar HAM PBB menyebut penjara Guantanamo sebagai sebuah lembaran buruk pelanggaran HAM AS yang membabi buta,

Yang lebih mengerikan, selama 20 tahun penahanan terhadap Zubaybah, apa yang disebut sebagai perang anti-teroris yang dicetuskan AS telah mendatangkan malapetaka maha besar kepada dunia. Menurut laporan Universitas Brown AS, 20 tahun yang lalu, dalam apa yang disebut dengan aksi anti-terorisnya di 85 negara dan daerah di seluruh dunia, AS secara langsung mengeluarkan biaya sebesar 8 triliun Dolar Amerika, dan jumlah korban kematian langsung dalam kekerasan perang di dunia tercatat 897 ribu hingga 929 ribu orang, sedangkan pengungsi dan orang yang kehilangan tempat tinggal mencapai 38 juta orang. Harian New York Times menunjukkan, dari penyiksaan sampai pembunuhan dengan menggunakan drone, penyalahgunaan perang dan perbuatan yang keterlaluan membuat AS kehilangan otoritas moralitasnya di berbagai tempat di dunia.

Dengan hutang HAM yang berat, apakah politikus AS malu menyebut dirinya sebagai pembela HAM dan”mercusuar kebebasan”, bahkan main tuding dalam masalah HAM negara-negara lain. Bukti menunjukkan, dalam kamus mereka sama sekali tiada keprimanusiaan melainkan kepentingan politiknya sendiri dan cara yang keji. Mengenai penjara gelap yang busuk itu, AS hendaknya segera menutupnya dan mengadakan pemeriksaan tuntas mengenai penyiksaan terhadap tahanan dan memberikan jawaban kepada masyarakat internasional.

黄晓芳