Orang bilang, 10 atau 20 tahun lagi, jutaan lelaki akan sulit menemukan jodoh karena adanya ketidaksetaraan proporsi gender.
Tetapi yang lebih mengkhawatirkan orangtua adalah semakin banyak gadis yang sulit berpacaran, malas menikah, dan enggan melahirkan anak.
Saya punya sepupu, berusia 27 tahun setelah memperoleh ijazah S-2. Umumnya perempuan di kampung halamannya yang seumuran sudah punya anak semua. Karena itu, setiap kali dia pulang kampung, orangtuanya pasti memaksanya bertemu dengan para lelaki yang sama sekali tidak dia kenal. Dia bukannya tidak ingin menikah, tetapi dia ingin mencari seorang lelaki yang dia cinta. Sepertinya hal ini gampang-gampang susah. Karena belasan tahun yang lalu, kehidupannya cuma belajar. Dia tidak pernah sungguh-sungguh berpacaran. Jadi dia mengaku tidak tahu bagaimana caranya berpacaran. Lebih parah lagi, kehidupannya terlalu sederhana: pagi pergi ke kantor, lalu selepas jam kerja langsung pulang ke rumah. Saya pernah berkata kepadanya, dengan gaya hidup seperti ini tak mungkin menemukan lelaki yang sesuai.
Memang, semakin banyak kalangan generasi muda yang terbatas pergerakannya di satu tempat. Lebih suka menghabiskan waktu di dunia maya.
Saya juga punyai teman yang pernah menikah dengan lelaki yang dikenal melalui internet. Tapi setelah menikah, baru tahu ternyata mereka sama sekali tidak cocok. Akhirnya mereka bercerai.
Tentu saja, bukan semua pasangan yang jadian melalui internet akhirnya berakhir dengan cerai, tetapi juga tidak sedikit yang seperti ini.
Jadi saya mengusulkan sepupu saya untuk lebih sering keluar rumah. Dia bisa main Yoga, bertamasya ke luar kota bahkan ke luar negeri. Dia bisa lebih sering berkumpul dengan teman-teman. Kehidupan kita kan beraneka ragam, janganlah mengurung diri sendiri.