Jalur Sutra yang ada dalam benak kebanyakan orang adalah lintasan perjalanan darat panjang dari Xi'an hingga ke Konstatinopel, melintasi gurun Taklamakan dan daratan Eurasia. Tetapi, seiring dengan perkembangan dunia maritim di zaman Abad Pertengahan, Jalur Sutra yang kuno pun meredup, digantikan oleh lintasan perdagangan baru dari samudra ke samudra.
Rute inilah yang dikenal dengan Jalur Sutra Maritim. Para pedagang dari negeri Tiongkok melintasi Laut Tiongkok Selatan, sampai ke Semenanjung Malaya, melintasi Selat Malaka dan Selat Sunda, dan menyeberangi Samudera Hindia hingga ke Arabia. Tidak ada kota yang bisa menggantikan posisi kota Quanzhou, yang menjadi titik mula perjalanan panjang ini.
Marco Polo memulai perjalanan pulang dari Asia ke Italia dengan berangkat dari kota Quanzhou di abad ke-13, dengan mengangkut putri Mongol untuk dinikahkan dengan pangeran Persia. Pengelana dunia Marco Polo dan Ibnu Battuta menyebut, tidak ada pelabuhan di muka bumi yang lebih besar daripada Quanzhou. Kota yang terletak di provinsi Fujian di Tiongkok selatan ini, lebih dikenal oleh dunia sebagai Kota Zaitun. Nama ini sebenarnya berasal dari kata bahasa Mandarin, citong, yaitu sejenis pohon yang berbunga merah di musim semi. Namun para pedagang Arab mendengar nama itu sebagai "zaitun", maka jadilah kota ini dikenal sebagai Kota Zaitun.
Zaitun adalah lambang perdamaian dan ketenteraman. Kota Quanzhou pun adalah bukti dari multikulturalisme, di mana manusia dari berbagai suku bangsa, bahasa, dan agama bisa hidup bersama, saling menghormati dan saling belajar.
Mengenai hasil interaksi dari berbagai bangsa pada zaman keemasan perdagangan bahari itu, Direktur Museum Jalur Sutra Maritim Quanzhou menjelaskan:
"[Pengaruh Jalur Sutra Maritim terhadap Quanzhou] termasuk sejumlah makanan, agama dan kepercayaan, termasuk juga sejumlah bahasa asing. Dalam bahasa lokal yang digunakan di Quanzhou saat ini sebenarnya menggunakan banyak kata serapan dari bahasa asing, termasuk dari Indonesia dan Malaysia. Termasuk juga di kebudayaan kopi di kota kami ini, sepenuhnya adalah pengaruh dari Indonesia, Malaysia, dan Asia Tenggara lainnya."
Di Quanzhou ditemukan batu nisan bersejarah dengan berbagai bahasa dan simbol agama, yang menunjukkan pada masa itu Quanzhou adalah sebuah kota kosmopolitan yang didiami manusia dari berbagai bangsa dan latar belakang budaya. Agama-agama yang pernah hidup di kota ini antara lain Kristen Nestorian, Mani, Taoisme, Buddha, Hindu, dan Islam.
Sebagai salah satu pintu masuk agama Islam ke negeri Tiongkok, Quanzhou juga menunjukkan akulturasi antara dua budaya, yang terlihat pada bentuk arsitektur makam berinskripsi ayat-ayat Alquran dan bentuk keranda di atas makam. Gaya Islami ini dipadukan dengan kemegahan makam batu gaya Tiongkok, juga tempat untuk meletakkan dupa bagi para peziarah.
Contoh lain dari akulturasi budaya yang sangat kental adalah kesenian boneka marionette. Karena perdamaian yang selalu mengayomi kota Quanzhou, terciptalah angin segar bagi perkembangan seni budaya. Selama selama lebih dari seribu tahun tanpa terganggu oleh perang, kesenian boneka marionette dari Quanzhou terus berkembang mendekati tingkat kesempurnaan hingga hari ini. Para seniman boneka marionette memainkan opera yang menceritakan kisah rakyat ataupun sejarah, legenda hewan ataupun kehidupan modern. Uniknya, karena Quanzhou pada masa itu adalah kota pelabuhan, dalam kisah boneka marionette tradisional pun digambarkan tokoh-tokoh pedagang dari seberang lautan, misalnya saudagar Parsi, Arab, dan India.
Pemimpin Kelompok Seni Boneka Marionette Quanzhou mengatakan:
"Quanzhou pada zaman Dinasti Song dan Yuan adalah pelabuhan besar Oriental di zaman Jalur Sutra Maritim. Karena itu Quanzhou terbilang sebagai tempat yang paling banyak intensitasnya dalam hal hubungan dengan keseluruhan dunia Muslim. Juga demikan halnya dengan kebudayaan. Dalam opera boneka marionette kita, dapat Anda temukan tokoh-tokoh yang berasal dari negeri yang berhubungan dengan Jalur Sutra Maritim, seperti dari Parsi, Arab, India, dan lain-lain"
Nama Quanzhou memang identik dengan perdamaian, multikulturalisme, dan perdamaian. Pada tahun 1405, pemerintah Dinasti Ming mengirimkan armada duta persahabatan yang dipimpin oleh Laksamana Muslim Cheng Ho, menyeberangi lautan menyusuri apa yang sekarang dikenal sebagai Jalur Sutra Maritim, dan mengunjungi sejumlah negeri-negeri Islam. Kota Quanzhou yang menjadi tempat makam suci beberapa pengikut Nabi Muhammad juga merupakan pos utama dalam perjalanan Laksamana Cheng Ho.
Salah satu pengaruh dari perjalanan Laksamana Cheng Ho ini adalah peranan penting dalam penyebaran agama Islam di Nusantara. Menurut sejumlah sejarawan, Cheng Ho mendirikan komunitas Muslim di Indonesia, yang pertama adalah di Palembang, disusul Kalimantan Barat, pesisir utara Jawa, Semenanjung Malaya, hingga ke Filipina. Mereka menyebarkan agama Islam berdasarkan madzhab Hanafi dalam bahasa Tionghoa.
Hari ini, para keturunan umat Muslim Hui masih mendiami Quanzhou, sebagai hasil dari status kota perdagangan selama berabad-abad. Walaupun mayoritas mereka sudah terasimilasi dalam budaya Tionghoa, namun pernak-pernik kultur Islam masih ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Di zaman globalisasi ini, kota Quanzhou kembali menggeliat dalam kancah perdagangan internasional. Komunitas Hui di desa Jiangtou misalnya, kini telah menjelma menjadi desa modern setelah tiga perusahaan dari sini telah mendominasi pasar nasional, go public, dan berusaha menembus pasar internasional.
Industrialisasi yang kini menjadi jiwa modernisasi Tiongkok membuat Jalur Sutra tidak pernah mati. Di Quanzhou, semangat globalisasi Jalur Sutra itu adalah kebanggaan masa lalu, semangat hari ini, dan harapan masa depan.