Pada penghujung tahun 2012, sejumlah negara emerging market di Asia, termasuk Indonesia, Vietnam, Filipina dan India, terus menjalankan kebijakan moneter yang agak longgar. Demi mewujudkan pertumbuhan ekonomi, suku bunga di negara-negara tersebut sedikit diturunkan atau tetap dipertahankan pada level relatif rendah.
Sejak tahun ini, terdapat sejumlah gejala positif pada ekonomi negara-negara emerging market. Tekanan inflasi yang sempat menghantui negara-negara tersebut pada 2011 telah diatasi pada 2012. Indeks harga konsumen Filipina pada November lalu menurun sampai 2,8 persen, mencapai rekor terendah selama delapan bulan terahkir ini. Inflasi Thailand pun menurun sampai 2,74 persen, terendah dalam tiga bulan terakhir. Ini memungkinkan bank sentral di negara-negara tersebut sanggup memelihara suku bunga yang relatif rendah, yang mendukung pertumbuhan pesat ekonomi mereka.
Bank Sentral Vietnam pada 20 Desember menurunkan suku bunga kredit refinancing dari 10 persen menjadi 9 persen, menurunkan suku bunga re-discount dari 8 persen menjadi 7 persen. Vietnam sepanjang tahun ini telah enam kali menurunkan suku bunga untuk memberi stimulus pada pertumbuhan ekonomi. Bank Sentral Indonesia tetap memelihara suku bunga pada level 5,75 persen untuk menstabilkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi. BI memandang suku bunga saat ini seimbang dengan angka inflasi 2013 dan 2014 yang ditargetkan berkisar antara 3,5 hingga 5,5 persen.
Analis berpendapat, penurunan permintaan pasar eksternal mungkin merupakan salah satu kesempatan untuk mendorong transformasi ekonomi negara-negara emerging market. Negara-negara tersebut meluncurkan kebijakan moneter longgar, serta memperluas konsumi dan invetasi, demi merangsang konsumsi, investasi, dan pembangunan infrastruktur pasar domestik. Hal-hal tersebut diyakini dapat berfungsi untuk perkembangan negara-negara Asia secara seimbang.
Ada pula yang berpendapat bahwa kemakmuran Asia akan mendatangkan uang panas dalam jumlah besar. Ternyata, harga properti di beberapa daerah Asia justru meningkat. Di pasar devisa, mata uang negara-negara Asia umumnya menguat terhadap dolar Amerika. Kurs won Korea Selatan naik 5 persen, sedangkan peso Filipina naik 4 persen. Penguatan juga dialami baht Thailand dan ringgit Malaysia.
Padahal, kebijakan moneter longgar yang dilaksanakan negara-negara emerging market Asia juga disebabkan kebijakan moneter Quantitative Easing (Q.E) yang dilaksanakan AS dan Jepang. AS sedang mencetak uang dalam jumlah besar, sehingga negara-negara Asia mau tidak mau harus mengikuti demi menghindari tekanan apresiasi pada mata uang lokal.