Kabinet Shinzo Abe jilid kedua dengan koalisi berkuasa Partai Demokrat Liberal dan Partai Kometo memulai masa tugasnya Rabo yang lalu. Di bawah kabinet Abe, ke mana diplomasi Jepang akan dibawa? Apakah hubungan Tiongkok-Jepang yang mencapai titik rendah bisa mengalami perbaikan? Sehubungan dengan itu, wartawan CRI sempat mewawancarai pakar ilmu politik Jepang Satoshi Amako di Tokyo.
Satoshi yang berusia 65 tahun terutama meneliti masalah Tiongkok serta hubungan internasional Asia Timur. Kini, ia menjabat Direktur Institut dan Profesor Pusat Riset Asia Pasifik Fakultas Internasional Universitas Waseda Jepang. Berbicara tentang kabinet Shinzo Abe yang baru lahir, Satoshi Amako menyatakan, dilihat dari segi hubngan Jepang-Tiongkok, sampai pemilihan Majelis Tinggi bulan Juli tahun depan, penstabilan operasional pemerintahan akan menjadi tugas terpenting kabinet Abe, diperkirakan akan diambil sikap hati-hati dalam menangani masalah Jepang-Tiongkok. Dikatakannya:"Bagi kabinet Abe, hal yang paling medesak untuk diselesaikan adalah pemulihan seluruh ekonomi. Di pihak lain, adalah hubungan dengan Amerika Serikat. Dalam hubungan antara Jepang dengan Amerika di bawah pemerintahan Partai Demokrat timbul keretakan. Ini harus lebih dulu dipulihkan untuk menstabilkan hubungan Jepang-Amerika. Sampai diselenggarakannya pemilihan Majelis Tinggi tahun depan, penstabilan operasional pemerintahan seputar kedua poin itu adalah fokus kabinet Abe. Hanya setelah kukuh berpijak di atas dasar itu, kabinet Abe baru dapat mengambil langkah untuk memperbaiki hubungan dengan Tiongkok." Demikian kata Profesor Satoshi Amako.
Sementara itu, sejumlah posisi penting dalam kabinet ditempati oleh politisi berhaluan konservatif. Hal ini sempat mengundang kekhawatiran negara-negara tetangga terhadap "pergeseran ke kanan" kabinet Shinzo Abe. Menanggapi hal itu, Profesor Satoshi Amako menyatakan:"Untuk tahap sekarang ini, kabinet Abe tidak akan bergeser ke kanan dengan sangat nyata. Sudah tentu, Shinzo Abe sendiri berhaluan kanan, dan sangat kuat kesadaran nasionalismenya. Ke depan, ia akan giat mengupayakan refisi konstitusi dan mendirikan tentara nasional. Namun, hal itu tidak akan dilakukan sebelum pemilihan Majelis Tinggi. Dalam setengah tahun ke depan, hal lebih penting baginya adalah menstabilkan operasional pemerintahan. Dengan perkataan lain, perlu meningkatkan ekonomi dan memperbaiki hubungan dengan Amerika. Hal ini bisa dilihat dari susunan anggota kabinetnya."
Menjelang dilantik menjadi perdana menteri, Shinzo Abe memutuskan akan mengirim utusan khusus ke Tiongkok dan Korea Selatan sebagai pernyataan sikap positif untuk memperbaiki hubungan dengan kedua negara tetangga tersebut. Namun sementara itu, ia berulang kali menekankan pendirian Jepang mengenai masalah Pulau Diaoyu dengan tetap mempertahankan sikap keras. Profesor Satoshi Amako menyatakan:"Shinzo Abe dianggap berhaluan keras dan ia sendiri juga sering menyatakan pendirian berhaluan keras. Namun setelah memegang tampuk pemerintahan, ia tidak akan segera melaksanakan konsepnya itu, melainkan akan pragmatis dalam menangani masalah nyata. Kabinet Abe tidak akan begitu berbahaya bila ia dapat berbuat cukup baik dalam hal ini."
Memburuknya hubungan Tiongkok-Jepang disebabkan oleh tindakan "nasionalisasi" kabinet Yoshihiko Noda dari pemerintah Partai Demokrat tanpa mempedulikan tentangan keras Tiongkok. Bagi kabinet Shinzo Abe, memperbaiki hubungan dengan Tiongkok akan menjadi ujian di jalan pemerintahan ke depan. Dalam memperbaiki hubungan dengan Tiongkok, berpegang pada sikap pragmatis adalah yang terpenting bagi pemerintah Jepang sekarang ini. Demikian kata Profesor Satoshi Amako dari Universitas Waseda.