Terhitung sejak tanggal 1 Oktober 2013, Undang-Undang pariwisata baru Tiongkok mulai diterapkan.
Seiring dengan perkembangan pesat ekonomi Tiongkok, wisatawan Tiongkok ke luar negeri terus bertambah. Karena letak geografis yang dekat dan adanya kemiripan budaya, Asia Tenggara menjadi destinasi utama wisatawan Tiongkok ke luar negeri, khususnya Thailand.
Bertambahnya jumlah wisatawan Tiongkok ke Thailand, menuai kritik sejumlah media lokal Thailand mengenai tingkah laku wisatawan Tiongkok. Meski demikian, pemandu wisata yang biasanya membawa wisatawan Tiongkok, Nali berpendapat bahwa perbedaan kebiasaan dan budaya mengakibatkan salah paham. Misalnya, saat menyerahkan sesuatu kepada orang lain, orang Thailand biasanya akan langsung memberikannya sampai ke tangan orang yang dituju, namun di Tiongkok, bagi orang yang sudah saling kenal, mereka kerap langsung melemparkan barang ke orang yang dituju. Sebelum masuk ke rumah di Thailand, biasanya harus melepas sepatu terlebih dulu, tapi di Tiongkok kebiasaan seperti bukanlah hal wajib.
Sebenarnya beberapa masalah yang sering dikeluhkan seperti membuang dahak dan tidak melepas sepatu, bukan karena wisatawan Tiongkok tidak menghormati adat Thailand, namun karena terkendalanya komunikasi. Untuk itu, Dinas Pariwisata Thailand kini mulai memasang papan-papan keterangan dalam bahasa Mandarin agar dapat semaksimal mungkin mengurangi kesalahpahaman yang timbul. Di pihak lain, dalam Undang-Undang pariwisata yang baru, dengan jelas mewajibkan para wisatawan menaati tata krama setempat.
Selain menghimbau tingkah laku yang sopan dari turis Tiongkok, UU pariwisata yang baru juga menetapkan ketentuan berbelanja saat berwisata ke luar negeri. Apabila wisatawan Tiongkok dipaksa berbelanja, maka agen perjalanan akan dikenakan denda bahkan berisiko dicabut izin usahanya.