Komisi Urusan Luar Negeri Majelis Rendah Jepang kemarin meluluskan sebuah resolusi yang mengkritik Tiongkok pada masalah Laut Tiongkok Selatan. Jepang dengan tidak mengindahkan kenyataan dan pengetahuan dasar, menuding-nuding aktivitas Tiongkok di kepulauan Xisha yang memperpanas ketegangan situasi Laut Tiongkok Selatan. Sebelumnya, PM Jepang, Shinzo Abe dan Kepala Kabinetnya serta pejabat tinggi pemerintah lainnya pernah berulang kali mengeluarkan kritik serupa. Mengenai hal tersebut, jubir Kementerian Luar Negeri Tiongkok dengan tajam menunjukkan bahwa perkataan pemimpin Jepang terkait masalah Laut Tiongkok Selatan tidak berdasarkan kenyataan dan memiliki motif tersembunyi.
Sebagaimana diketahui umum, dalam masalah Laut Tiongkok Selatan, Jepang bukanlah pihak yang berkepentingan langsung. Dilihat dari latar belakang sejarah, Jepang sama sekali tidak pantas melontarkan tudingan dalam masalah ini. Justru Jepanglah yang menduduki kepulauan Xisha selama Perang Dunia Kedua. Setelah Jepang kalah pada 1945, menurut serangkaian dokumen internasional, pemerintah Tiongkok memulihkan kedaulatan atas kepulauan Xisha, sementara Jepang tidak menyatakan pendapat apapun setelah itu.
Sikap agresif pemerintah Shinzo Abe terhadap masalah Laut Tiongkok Selatan tidak hanya bertentangan dengan asas aturan internasional pasca perang, juga menghilangkan rasa hormat fundamental terhadap sejarah.
Dilihat dari sejarah modern Jepang, sejak meletusnya Perang Jiawu dan Perang Jepang-Rusia pada seratus tahun lebih yang lalu, hingga perang agresi Tiongkok, dan serangan pada Pelabuhan Mutiara, Jepang bukan hanya tidak mengintrospeksi sejarahnya, namun malah ingin menambah kekuatan militer Jepang, bahkan campur tangan dalam masalah Laut Tiongkok Selatan. Dengan dukungannya terhadap negara-negara tertentu, peranan Jepang sebaliknya makin mengacaukan situasi.