Warga Jepang kemarin pagi (30/8) melakukan demonstrasi besar-besaran di depan kompleks gedung parlemen Jepang, untuk menentang ditetapkannya Undang-undang Keamanan oleh Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe. Unjuk rasa kali ini merupakan unjuk rasa dengan skala terbesar dalam beberapa waktu belakangan. Bulan Juli lalu, Majelis Rendah Jepang secara paksa memungut suara kemudian meratifikasi Resolusi Undang-undang Keamanan yang dianjurkan Shinzo Abe. Saat ini RUU tersebut sedang dibahas Majelis Tinggi. RUU tersebut mempunyai isi pokok bahwa pasukan bela diri Jepang diperbolehkan untuk melancarkan aksi militer di luar negeri, sehingga merupakan suatu titik balik terbesar pada politik keamanan Jepang sejak berakhirnya Perang Dunia II, juga menandakan bahwa Jepang secara tuntas meninggalkan Undang-undang Perdamaian dan melepaskan pendirian "pertahanan diri" dalam politik pertahanannya.
Sebanyak 120 ribu warga Jepang kemarin ikut serta dalam unjuk rasa tersebut. Padahal unjuk rasa serupa hampir terjadi setiap minggu di seluruh negeri Jepang, sejak Abe mengeluarkan Undang-undang Keamanan.
Akan tetapi, pemerintah dan partai berkuasa Jepang yang dikepalai Jepang terus giat menekankan betapa pentingnya RUU tersebut bagi Jepang.
Media Jepang beramai-ramai melakukan jajak pendapat. Menurut hasil jajak pendapat dari Stasiun Televisi Asahi pada tanggal 22 dan 23 Agustus ini, 22 persen responden setuju pada RUU tersebut sedangkan 55 persen responden menentang, sekitar 60 persen menentang RUU dibahas secara paksa dalam parlemen kali ini. Sebelumnya, ratusan pakar hukum Jepang telah melakukan penandatangan massal untuk menentang RUU tersebut dan berpendapat bahwa RUU itu telah melanggar Undang-undang Dasar Jepang, termasuk pula pakar hukum dari Partai Liberal dan Demokratik (LDP) yang dipimpin oleh Abe.
Partai LDP selaku partai berkuasa dan koalisinya Partai Komei yang mempunyai kursi mayoritas di Majelis Tinggi hendaknya meluluskan RUU tersebut sebelum tanggal 11 September. Analis berpendapat, berkat tekanan opini yang sangat besar, Partai LDP dan Partai Komei berkemungkinan memberi konsesi, yakni memperpanjang waktu pemeriksaan di Majelis Tinggi, namun tetap bermaksud meratifikasi RUU tersebut sebelum tanggal 27 September, hari penutupan parlemen kali ini.