Seiring dengan mendekatinya Konferensi Iklim Paris yang jatuh pada tanggal 30 November mendatang, persetujuan iklim globa yang berencana dicapai pada akhir tahun ini sedang semakin jelas. Dalam perundingan resmi putaran terakhir sebelum Konferensi Paris yang diadakan di Born, Jerman pekan lalu, berbagai pihak telah mencapai kesepakatan mengenai rancangan persetujuan, namun sejumlah masalah kunci tetap menunggu diselesaikan oleh Konferensi Paris.
Negara-negara maju ingin menulis kembali Konvensi Kerangka Perubahaan Iklim PBB (disingkat sebagai konvensi), percobaan untuk menggulingkan tata tertib semakin nyata. Boleh diprediksi, Konferensi Paris akan menghadapi tekanan besar kalau ingin mencapai persetujuan iklim yang adil.
Dengan perundingan selama sepekan, berbagai negara mencapai kesepakatan mengenai rancangan persetujuan iklim Paris pada tanggal 23 bulan ini. Rancangan ini mempunyai 26 pasal, termasuk pelambanan, penyesuaian, kerugian dan kebahayaan, dana, perkembangan dan pengalihan teknologi, pembangunan kemampuan serta transparansi.
Dibanding dengan dokumen perundingan sejumlah 80 lebih lembar yang disusun di Jeneva, Swiss, rancangan ini tidak lagi adalah tercantumnya pendirian berbagai pihak, isi berbagai pasal rancangan ini lebih jelas, telah memberi kerangka dan struktur persetujuan Paris, namun rancangan ini tetap mempunyai 1000 lebih tanda kurung yang menandakan perselisihan berbagai pihak mengenai pelukisan pasal.
Kini, perselisihan yang terbesar antara negara maju dan negara berkembang adalah pembagian tanggung jawab. Hal ini memanifestasikan pada bidang aksi pengurangan emisi dan dukungan dana kepada negara berkembang.
Menanggapi aksi pengurangan emisi, negara maju berharap sejumlah negara berkembang sesama dengan negara maju, yakni mengadakan pengurangan emisi dengan jumlah mutlak dalam lingkupan ekonomi. Menanggapi dukungan dana, negara maju cenderung menyamarkan formulasi isi pasal mengenai intensitas dukungan darinya, berharap pula sejumlah negara berkembang memikul kewajiban dukungan.
Sedangkan negara-negara berkembang berpendapat, tanggung jawab pengurangan emisi negara maju dan negara berkembang harus dibedakan, negara berkembang boleh mengambil aksi pengurangan emisi secara variasi, dan aksinya tergantung pada kebutuhan pembangunan masing-masing dan dukungan dari negara maju. Dukungan dana negara maju hendaknya ditingkatkan secara rutin pada dasar sejumlah US $ 100 miliar setiap tahun sampai 2020.
Konvensi adalah perjanjian hukum internasional, ditandatangani pada 1992. Konvensi ini dengan jelas menentukan bahwa negara maju harus mengurangi emisi sebagai contohnya, sementara itu berwajib menyediakan dana, teknologi dan dukungan pembangunan kemampuan kepada negara-negara berkembang agar membantu negara berkembang mengambil aksi untuk menangani perubahan iklim.
Sejak Konfensi Iklim Deppon memutuskan mengadakan perundingan persetujuan iklim Paris, status persetujuan Paris cukup jelas, yakni persetujuan di bawah Konvensi dengan tujuan meningkatkan pelaksanaan konvensi secara efektif.
Namun selama masa perundingan hampir empat tahun, baik di luar medan perundingan, maupun dalam pemasyarakatan, negara maju sengaja menghindari status ini, melainkan terus mengatakan bahwa lainnya zaman, pembagian mengenai negara maju dan negara berkembang sudah usang.
Ada anlis mengatakan bahwa formulasi ini sepenuhnya mengungkapkan bahwa percobaan negara maju untuk memikul tanggung jawab hukum. Justru karena negara maju berpegang pada pendapat yang tidak pantas dan menghindarkan tanggung jawabnya, perundingan iklim baru tidak bisa mencapai keterobosan yang lebih besar.
Wakil Perdana Perundingan Iklim Tiongkok Su Wei mengatakan, meskipun jumlah negara berkembang besar, populasinya pun banyak, namun karena terbatasnya kekuatan negara, suara negara berkembang tidak bisa menaruh perhatian yang cukup, asalnya bersatu baru mempunyai kekuatan yang lebih besar, baru bisa lebih baik memelihara kepentingannya.