Konferensi Perubahan Iklim PBB atau COP21 menyetujui perjanjian untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah dua derajat Celcius setelah digelar perundingan selama dua minggu dan ditutup di Paris pada 12 Desember 2015.
Kesepakatan Paris merupakan hasil upaya hampir 200 negara yang telah melakukan perundingan selama bertahun-tahun sejak akhir abad lalu. Dalam Konferensi Kopenhagen pada tahun 2009, masyarakat internasional gagal mencapai sebuah kesepakatan yang mengikat secara hukum. Dalam Konferensi Perubahan Iklim ke 17 di Durban, Afrika Selatan pada tahun 2011, peserta perundingan mengambil keputusan untuk menyusun sebuah dokumen yang berlaku bagi semua pihak. Semua upaya itu akhirnya membuahkan hasil dalam Konferensi Perubahan Iklim di Paris pada tahun 2015. Wakil Tiongkok untuk Urusan Perubahan Iklim, Xie Zhenhua dalam pidatonya di acara penutupan memuji perjanjian tersebut telah mengayunkan satu langkah yang bersejarah walaupun isinya masih tidak lengkap dan patut diperbaiki. Ia menunjukkan, Kesepakatan Paris adalah sebuah dokumen yang adil, rasional dan inklusif dengan mempertahankan prinsip "tanggung jawab bersama dengan kewajiban yang berbeda" (common but differentiated Responbility & Respective Capability).
Kesepakatan Paris adalah kebulatan tekad dunia untuk menghadapi perubahan iklim global. Kesepakatan Paris menargetkan pembatasan kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celcius, bahkan di bawah 1,5 derajat Celsius. Kesepakatan Paris meminta setiap negara memberikan kontribusinya terhadap perubahan iklim setelah tahun 2020 menurut INDC (Intended Nationally Determined Contribution). Mulai dari 2023, setiap lima tahun sekali akan dilakukan evaluasi terhadap kemajuan yang dicapai untuk meningkatkan kerja sama antar negara dan mewujudkan target jangka panjang penanganan perubahan iklim.
Menurut ahli dari Institut Penelitian Hubungan Internasional Modern Tiongkok, Tang Xinhua, Kesepakatan Paris dan Protokol Kyodo yang ditandatangani pada tahun 1997 adalah dua dokumen yang berdaya ikat hukum di bawah Konvensi Kerangka Perubahan Iklim PBB, akan tetapi kedua dokumen itu memiliki perbedaan. Protokol Kyodo mengharuskan negara-negara maju melakukan pengurangan emisi secara paksa sehingga mengundang boikot sejumlah negara maju yang kemudian mengundurkan diri dari Protokol tersebut. Sedangkan Kesepakatan Paris telah sepenuhnya mempertimbangkan keadaan dan kemampuan yang berbeda dari masing-masing negara dan menargetkan penghentian kenaikan suhu agar tidak melebihi 2 derajat Celsius berdasarkan INDC.
Perundingan mengenai Kesepakatan Paris mulai dilakukan berdasarkan Keputusan Konferensi Perubahan Iklim di Durban, Afrika Selatan pada tahun 2011. Sejak itu 196 negara penandatangan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) telah melakukan belasan putaran perundingan, termasuk perundingan bilateral maupun multilateral, sehingga perselisihan secara perlahan teratasi dan kesepahaman terus diperluas. Pada Februari 2015, naskah Kesepakatan Paris dicapai di Jenewa, Swiss. Setelah itu, berbagai pihak melakukan tiga putaran perundingan di Bonn, Jerman untuk menyusun draf Perjanjian Paris.
Tang Xinhua dari Institut Hubungan Internasional Modern Tiongkok menyatakan, sebelumnya negara-negara maju dan berkembang saling berselisih pendapat seputar masalah dana dan teknik, namun akhirnya berbagai pihak mengambil sikap luwes untuk mencapai kesepakatan.
Sebagai negara berkembang terbesar di dunia, sekaligus negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia, Tiongkok telah memberikan kontribusi positif demi tercapainya Kesepakatan Paris yang bersejarah. Pada Juni 2015, Tiongkok menyerahkan dokumen INDC kepada PBB. Dalam dokumen itu, Tiongkok menyatakan emisi karbon akan mencapai puncaknya di tahun 2030 dan emisi karbon dioksida per unit produk domestik bruto (PDB) akan turun 60 hingga 65 persen dari level tahun 2005.
Komitmen Tiongkok terkait pengurangan emisi karbon telah mendapat pengakuan dari seluruh dunia. Janos Pasztor, Asisten Sekretaris Jenderal untuk Perubahan Iklim memuji upaya Tiongkok dalam bidang penghematan energi dan pengurangan emisi sangat berhasil dan memiliki arti nyata.
Selain itu, Tiongkok telah berturut-turut mengadakan perundingan dengan India, Brasil, Uni Eropa, AS dan Perancis untuk mengajukan solusi konkret terkait perselisihan mengenai perubahan iklim. Tiongkok dan AS mengeluarkan Pernyataan Bersama Kepala Negara Tiongkok dan AS tentang Perubahan Iklim. Dalam pernyataan tersebut, Tiongkok berjanji akan mengucurkan dana sebanyak 20 miliar yuan RMB sebagai Dana Kerja Sama Selatan-Selatan untuk membantu negara-negara berkembang menangani perubahan iklim. Dalam perundingan selama belasan hari di Paris, delegasi Tiongkok telah memberikan kontribusi konstruktif demi tercapainya Kesepakatan Paris.
Saat menghadiri Konferensi Perubahan Iklim di Paris, Presiden Tiongkok Xi Jinping mengajukan empat butir usulan sebagai berikut: Pertama, Kesepakatan Paris harusnya dapat membantu mewujudkan target yang tercantum dalam Konvensi Kerangka Perubahan Iklim dengan mendorong perkembangan hijau. Kedua, Kesepakatan Paris hendaknya bermanfaat untuk mempersatukan kekuatan seluruh dunia. Ketiga, Kesepakatan Paris hendaknya membantu peningkatan aksi bersama. Dan keempat, Kesepakatan Paris hendaknya pragmatis dan efektif dengan mempertimbangkan kondisi masing-masing negara. Kesepakatan Paris diharapkan dapat mendorong negara-negara maju untuk memikul lebih banyak kewajiban guna merealisasi target menang bersama.