KTT Kelompok 7 Negara (G7) hari ini (26/5) akan dibuka di kota Ise Shima, Prefektur Mie, Jepang. Pembangunan ekonomi dunia, situasi regional dan masalah anti-terorisme merupakan topik utama yang dibahas para pemimpin G7. Jepang berharap, dengan KTT kali ini bisa memperlihatkan persatuan dan kepemimpinan G7. Namun pakar berpendapat, meskipun kelihatannya cukup harmonis, namun terdapat pula sejumlah perselisihan di internal G7..
Pertama adalah masalah nilai tukar
Pada 21 Mei ini, Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G7 digelar di kota Sendai Prefektur Miyagi, Jepang. Namun 7 anggota itu gagal mencapai kesepakatan mengenai ruangan fluktuasi nilai tukar serta kebijakan stimulus keuangan.
Selain itu, perihal peningkatan pengeluaran fiskal untuk merangsang pertumbuhan ekonomi, para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G7 pun tidak mencapai kesepakatan melalui konsultasi.
Kedua, terdapat perbedaan dalam kebijakan terhadap Rusia
Pada awal 1990, G7 menjadi G8 setelah menerima Rusia sebagai anggota baru. Pada 2014, AS dan Eropa mengenakan sanksi terhadap Rusia karena krisis Ukraina, sehingga Rusia tidak diikutsertakan dalam KTT G8 sejak saat itu.
Mengenai hubungan dengan Rusia, menteri luar negeri AS, Inggris dan Kanada mengeluarkan pernyataan yang cukup keras, sementara itu Jerman dan Perancis relatif lebih lunak.
Pakar terkait berpendapat, dibandingkan dengan AS, Jerman dan Perancis memiliki posisi yang lebih dekat dengan Rusia dari segi geografi, dan juga memiliki ketergantungan energi pada Rusia, maka kedua negara tersebut tidak bisa menjalankan politik yang seragam dengan AS.
Ketiga, Jepang terus menbesar-besarkan situasi di Laut Tiongkok Selatan.
Selama dua bulan ini, petinggi Jepang terus membicarakan masalah Laut Tiongkok Selatan di arena internasional, mulai dari pertemuan menteri luar negeri G7, kunjungan Shinzo Abe ke Rusia hingga kunjungan menteri luar negeri Jepang ke Asia Tenggara. Media memperkirakan, pada KTT G7, Jepang juga berkemungkinan besar akan kembali menghasut sejumlah pihak untuk membahas masalah tersebut.
Ahli menunjukkan, sebagai negara yang tidak terlibat langsung, Jepang terus campur tanggan dalam masalah Laut Tiongkok Selatan, hal itu pasti ditolak oleh sebagian besar negara. Tujuan Shinzo Abe yang ingin menghasut negara-negara Eropa untuk mengacaukan situasi di Laut Tiongkok Selatan pun sulit tercapai.