Hari ini 15 Agustus adalah genap 71 tahun kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Harian Renminribao Tiongkok menerbitkan artikel yang ditulis oleh seorang periset dari Institut Perdamaian Internasional Universitas Meiji Gakuin Jepang, Ishida. Dalam artikelnya, Ishida mengimbau Jepang mendengar suara adil dari negara tetangga. Artikel tersebut menunjukkan bahwa Jepang menyangkal dan mengaburkan tanggungjawabnya dalam perang, demi membuka jalan bagi penggunaan kekuatan bersenjata. Ini merupakan tindakan berbahaya bagi korban perang, yakni Jepang mencoba kembali ke masa sebelum perang dan mengulangi lagi ancaman sebelumnya.
Pada tahun lalu, pemerintah Jepang memaksa Kongres meluluskan serangkaian UU Keamanan. Kabinet-kabinet sebelumnya semua berpendapat Konstitusi tidak mengizinkan Jepang melaksanakan hak bela diri kolektif. Jepang selalu berkata "introspeksi diri", namun pemerintah Shinzo Abe tidak mempedulikan pasal ke-9 Konstitusi yang mencegah Jepang kembali meletuskan perang agresi, dengan alasan "teori ancaman Tiongkok". Tanpa proses revisi UUD, pemerintah Shinzo Abe sebenarnya telah mengizinkan Jepang mempergunakan kekuatan bersenjata di luar negeri, ini adalah tindakan kekerasan yang menyangkal UUD.
Pada akhir Desember tahun lalu, pemerintah Jepang dan Korsel telah mencapai kesepahaman pada masalah "wanita penghibur" atau ianfu pasca perang. Meskipun harapan korban mengenai penjelasan kenyataan dan tanggung jawab hukum pemerintah Jepang ditolak, namun ini tetap merupakan penengahan yang "terakhir dan tak dapat diubah". Baru-baru ini, pemerintah Jepang berulang kali menyatakan "itu bukan ganti rugi", dan menyatakan masalah sejarah ini telah "berakhir". Di samping itu, pemerintah Jepang tetap memegang sikap "belum berakhir" pada masalah sejarah bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Sikap pemerintah Jepang yang begitu berbeda pada korban dan pelaku kejahatan sangat mengagetkan masyarakat.
Kekuasaan Shinzo Abe yang menjadikan revisi UUD sebagai target politiknya tetap mempunyai tingkat dukungan yang tinggi, koalisi berkuasa menang dalam pemilihan Majelis Tinggi bulan lalu. Dalam pemilihan Gubernur Tokyo setelah itu, calon Gubernur yang mendukung diubahnya isi buku pelajaran sejarah dan mengimbau Jepang mengadakan persenjataan nuklir terpilih. Semua itu akan memberi sinyal seperti apa kepada rakyat negara-negara yang pernah mengalami agresi dan penjajahan Jepang? Mungkin kebanyakan orang Jepang belum menyadari masalah ini.
Pemerintah Jepang terus menghasut "Teori Ancaman Tiongkok" dengan alasan persengketaan wilayah Laut Timur. Selain itu, meskipun bukan negara yang terkait langsung, Jepang kembali mengangkat "Teori Ancaman Tiongkok" pada masalah LTS, dan mencari alasan bagi pemerintah Shinzo Abe untuk menjalankan hak bela diri kolektif, mengubah UUD Perdamaian dan meningkatkan persenjataan.
Jepang pernah mengadakan perang agresi di Tiongkok, dan melaksanakan blokade pada Tiongkok pasca perang. Mengenang kembali sejarah, kami sangat jelas dan menyadari bahwa siapa ancaman sesungguhnya di Asia Timur, tentu saja jawabannya bukan Tiongkok. Yang paling disesalkan ialah, di Jepang jarang ada terdengar suara serupa.
Terakhir, artikel tersebut mengatakan, Jepang harus sering berinstropeksi dan secara teguh tidak kembali meletuskan perang, sehingga diakui sebagai negara yang "berintrospeksi pada kesalahan sebelumnya" oleh negara-negara korban, dengan demikian barulah dapat membuka keadaan "pasca perang" yang tepat bagi Asia Timur, barulah dapat memperbaiki hubungannya dengan negara-negara korban perang. Pemerintah Jepang diharapkan dapat mendengar himbauan adil dari masyarakat internasional, khususnya negara-negara tetangga di Asia.