Dikarenakan provokasi berulang kali dari pihak AS, pergesekan perdagangan Tiongkok-AS belakangan ini terus meningkat. Berdasarkan hasil "investigasi 301", AS memfitnah pemerintah Tiongkok memaksakan peralihan teknologi. Beberapa pakar keuangan dalam wawancara dengan wartawan CRI menyatakan, tuduhan pihak AS tersebut sama sekali tidak memiliki bukti. Peralihan teknologi antara perusahaan Tiongkok dan AS adalah transaksi sukarela, dan perusahaan AS memperoleh keuntungan sangat besar dalam hubungan kerja sama dengan perusahaan Tiongkok. Para pakar berpendapat, penambahan tarif bea masuk yang diskriminatif terhadap Tiongkok itu sama saja dengan melanggar komitmen AS dalam WTO dan secara langsung melanggar prinsip pokok WTO.
Para pakar keuangan Tiongkok mencatat, tudukan pihak AS dalam laporan "investigasi 301" di bidang peralihan teknologi, HaKI dan inovasi itu tidak memiliki bukti apapun. AS menyalahkan komoditas dagang negara-negara lain hanya dengan berdasarkan pada sumber yang sangat tidak jelas. Mereka berpendapat bahwa tuduhan-tuduhan AS itu merupakan wujud tipikal dari unilateralisme dan proteksionisme perdagangan.
Kepala Kantor Riset Amerika dan Oceania Kementerian Perdagangan Tiongkok Li Weiqiang mengatakan, tidak ada Undang-Undang apapun di Tiongkok yang memperbolehkan peralihan teknologi secara paksa, prakteknya dilakukan secara independen antara perusahaan dan pemerintah Tiongkok sama sekali tidak berkaitan dengan hal ini. Pada kenyataannya, menurut statistik Kantor Kekayaan Intelektual Negara Tiongkok, pada tahun 2017, AS totalnya memperoleh 23.679 hak paten dari Tiongkok, di antaranya Perusahaan Qualcomm asal AS merupakan perusahaan asing yang paling banyak memperoleh hak paten Tiongkok pada tahun lalu.
Menghadapi kenyataan tersebut, pihak AS malah mamanfaatkan hasil "investigasi 301" untuk menuduh Tiongkok memberikan tekanan kepada perusahaan AS melalui pembatasan hak saham dan prosedur pengesahan demi memaksa peralihan teknologi. Berkenaan hal itu, Profesor Cui Fan dari Universitas Ekonomi dan Perdagangan Luar Negeri Tiongkok mengatakan, ini tergolong kerja sama antara perusahaan dan praktik komersial.
Ia mengatakan, perusahaan AS yang memasuki Tiongkok harus menyertakan perusahaan lokal jika ingin membentuk perusahaan modal patungan. Dalam konsultasi bisnis dengan pihak Tiongkok, kedua pihak akan berunding mengenai distribuksi hak saham dan pembagian teknologi secara bersama. Ini adalah praktik bisnis.
Akan tetapi, pihak AS baru-baru ini mengumumkan pengenaan tarif bea masuk senilai 50 miliar dolar Amerika terhadap produk impor dari Tiongkok, dan tengah mempertimbangkan untuk menambah lagi tarif bea masuk senilai 100 miliar dolar Amerika terhadap komoditas dari Tiongkok. Profesor Cui berpendapat, langkah tersebut merupakan pelanggaran komitmen AS dalam WTO.
Wakil Direktur Institut Penelitian Ekonomi Makro Tiongkok Bi Jiyao berpendapat, di saat pihak AS menuduh Tiongkok tanpa alasan, perusahaan AS malah menikmati keuntungan besar dari pasar Tiongkok.
Ia mengatakan, perusahaan AS memperoleh keuntungan besar dalam investasi dan patungan modal di Tiongkok. Baik patungan modal, investasi, maupun penelitian dan pengembangan bersama, semuanya merupakan praktik bisnis antara kedua pihak. Jika tidak ada keuntungan, perusahaan AS tak mungkin datang di Tiongkok.