Situasi anti terorisme di Asia Tenggara para umumnya timbul keadaan "serangan kecil lebih banyak dari pada serangan besar". Kegiatan teror di Asia Tenggara terutama tersebar di negara-negara Kepulauan dan negara-negara semenanjung, sehingga terbentuk jalur bahaya antara Filipina, Indonesia, Malaysia serta Thailand dan Myanmar. Melalui penyelidikan, baik teroris dalam kasus serangan Surabaya maupun anggota bersenjata yang menduduki Marawi serta anggota organisasi radikal yang sudah dikuasai oleh pihak penguasa Malaysia pada tahun lalu, semuanya bersekongkol dengan "Negara Islam" atau ISIS.
Pada kenyataannya, mulai dari tahun 2000, negara-negara Asia Tenggara telah mengadakan kerja sama anti terorisme di kawasannya bahkan di lingkup seluruh dunia.
Selama sepuluh tahun yang lalu, Singapura, Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand terus mengintensifkan pembinaan kekuatan anti terorisme dari bidang-bidang hukum, informasi, moneter, tidak saja memukul terorisme, tetapi juga berupaya menghancurkan sumber pertumbuhannya.
Negara-negara Asia Tenggara dalam kerangka ASEAN membentuk serangkaian mekanisme kerja sama anti terorisme. Pada tahun lalu, Indonesia, Malaysia dan Filipina telah menghidupkan aksi patroli gabungan di Laut Sulu, guna meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas terorisme di atas laut.
Sementara itu, ASEAN telah menandatangani deklarasi atau persetujuan anti terorisme masing-masing dengan AS, Tiongkok, Jepang, Rusia, Australia, India, Kanada, Selandia Baru, Pakistan, Uni Eropa atau berbagai organisasi.
Aktivitas terorisme merembes dan meluas di Asia Tenggara telah mengungkapkan sejumlah titik sakit dalam anti terorisme di Asia Tenggara. Salah satu titik sakit ialah kelemahan kemampuan peranti keras dalam anti terorisme. Titik sakit yang kedua ialah psikologi anti terorisme. Sebagian negara Asia Tenggara sangat tergantung pada industri pariwisata dan industri jasa, mereka sangat benci terhadap terorisme, namun tidak bersedia melancarkan aksi anti terorisme transnasional secara besar-besaran, karena khawatir akan perekonomian. Titik sakit yang ketiga ialah pluralisasi budaya dan agama berbagai negara ASEAN, level perkembangan ekonomi yang berbeda mengakibatkan berbedanya sumbangan kepada mekanisme kerja sama anti terorisme.