Pihak kepolisian Indonesia Selasa lalu (22/05) mengumumkan, bahwa pihak kepolisian menangkap 74 orang tersangka teroris dalam tindakan antiterorisme pasca kasus ledakan Surabaya. Dalam tindakan tersebut, pihaknya juga menyita barang-barang bukti termasuk bom, dinamit, baterai dan saklar. Serangan teror yang sering terjadi belakangan ini juga mendorong Indonesia menghidupkan kembali isu revisi 'UU Antiterorisme' yang sudah ditundakan lama. Sementara itu, Indonesia sedang mempertimbangkan mengambil tindakan termasuk mengintensifkan pembagian intelijen dan mencegah penyebaran pikiran ekstrim, agar menanggapi ancaman terorisme.
Presiden Indonesia Joko Widodo baru-baru ini menyatakan, jika DPR gagal meluluskan rancangan revisi 'UU Antiterorisme' sebelum Juni depan, maka ia akan mengeluarkan perintah presiden yang dapat menggantikannya, supaya dengan lebih kuat memukul terorisme dengan tindakan hukum. Jokowi dalam sidang kabinet Selasa lalu menyatakan, bahwa Indonesia perlu mengambil tindakan yang keras untuk menanggapi terorisme, juga perlu mengambil cara komprehensif agar menghapuskan pikiran ekstrmisasi yang muncul di sekolah dan publik, banyak tindakan tersebut akan mencapai efisien menyelesaikan masalah secara tuntas. Di Indonesia, penyebaran arus pikiran ekstrimisme juga semakin dipentingkan, wanita dan anak-anak juga menjadi target penyerang pikiran ekstrimisme.
Setelah Indonesia mengeluarkan 'UU Antiterorisme' pasca kasus ledakan di pusat Jakarta pada Januari tahun 2016, tak hanya meningkatkan kekuatan pukulan terhadap elemen teror, juga memberi hak dan keluwesan yang lebih besar kepada pihak kepolisian dalam kasus yang meliputi terorisme. UU tersebut juga mencoba memberi ruang yang lebih besar kepada pihak militer dalam tindakan antiterorisme. Menurut informasi, bahwa Jokowi telah menyetujui memulihkan membentuk komando tindakan khusus gabungan untuk perang antiterorisme, lembaga tersebut boleh memberi penempatan pesat dalam waktu pendek, dan membantu polisi menanggapi serangan terorisme.
Karena 'UU Antiterorisme' yang berlaku di Indonesia sekarang belum membentuk mekanisme pembagian informasi di antara badan intelijen, maka opini mengharapkan revisi 'UU Antiterorisme' dapat mendorong lembaga intelijen memainkan peranan yang lebih besar di bidang koordinasi dan pembagian informasi. Menurut komentar 'Jakarta Post', kuncinya memukul terorisme ialah badan intelijen perlu memiliki kemampuan untuk mendeteksi ancaman teroris sebelum terjadi.
Pakar terkait Indonesia berpendapat 'Indonesia perlu ambil tindakan komprehensif untuk menanggapi ancaman terorisme, lebih-lebih perlu mengintensifkan pendidikan orangtua, tetangga dan masyarakat terhadap anak-anak,' agar mencegah penyebaran pikiran ekstrimisme.