(Oleh: Asvin Ellyana/ jurnalis Metro TV)
Senin, 7 November 2011, Umat muslim di seluruh Tiongkok merayakan Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Kurban. Pagi itu, di sepanjang perjalanan ke Kota Whuzong tak terdengar kumandang takbir.
Waktu menunjukkan hampir pukul 08.30 waktu setempat, namun salat Id belum dimulai. Bahkan, pengurus masjid yang menerima rombongan kami tak lantas mengajak kami salat, melainkan ke sebuah ruangan di lantai dua untuk penjelasan tentang keberadaan Masjid Wu Nan.
Salat agak lebih siang dibanding dengan di Indonesia. Begitulah yang terlintas di benak penulis. Pengurus masjid bahkan masih sempat memberikan sambutan dan sedikit sejarah pembangunan masjid Wu Nan.
Usai penjelasan, para Imam di masjid ini mengumandangkan takbir. Meski terdengar agak aneh, karena pengucapan dan nadanya sangat berbeda, tapi ungkapan kebesaran Allah SWT tetap bisa dirasakan.
Yang agak membuat kami keheranan adalah para imam ini juga membakar hio sambil bertakbir. Takbir terus dikumandangkan dari ruangan di lantai dua menuju bangunan utama masjid untuk mulai salat Idul Adha. Pengurus masjid Wu Nan mengaku pembakaran hio bukan ritual khusus persembahyangan, namun hanya agar sepanjang perjalanan lebih wangi saja.
Tak ada yang istimewa dalam perayaan Idul Adha di kota Wu Zhong. Usai salat Id yang diikuti hanya oleh jamaah laki-laki, dilanjutkan dengan ritual pemotongan hewan kurban. Hanya saja, pemotongan hewan kurban di masjid hanya beberapa ekor sapi dan kambing. Kebanyakan etnis Hui di Ningxia, memotong hewan kurban di rumah mereka dengan mendatangkan imam masjid untuk menyembelih hewan kurban.
Seperti yang dilakukan salah satu jamaah masjid Wu Nang, Ma Hanmin. Keluarga Ma Hanmin memanggil imam untuk memotong hewan kurbannya di rumah. Usai pemotongan hewan kurban,keluarga Ma mengundang Imam memimpin pengajian di dalam rumah.
Pengajian dipimpin imam diikuti anggota keluarga baik yang laki-laki maupun perempuan. Mereka membaca kalimat "Ikhlas". Terdengar berbeda dengan pengajian ala muslimin di Indonesia. Hanya terdengar jelas kalimat takbir yang megagungkan kebesaran Allah SWT yang dilantunkan dengan sangat lantang.
Usai pengajian, pemilik rumah memberi uang kepada imam dan semua yang hadir. Bahkan, para wartawan yang hadir untuk meliput juga diberi uang. "Tolong diterima, ini sadaqoh," begitu ungkap Ma. Anak-anak kecil, cucu dan cicit Ma tampak senang menerima pemberian ini. Ekspresi mereka sama dengan anak-anak Indonesia saat menerima uang pemberian keluarga atau kerabat di Hari Raya Idul Fitri.
Seperti di Indonesia, tradisi silaturahmi di hari raya juga dilaksanakan umat muslim di Ningxia. Hampir seluruh anak, cucu bahkan cicit Ma Hanming, datang usai salat Id.
Mereka juga menyiapkan hidangan khusus di Hari Raya.Hidangan lengkap dari kue-kue, buah hingga makanan berat disiapkan anggota keluarga yang perempuan. Masakan yang disajikan juga beraneka ragam, dari daging kambing, sapi, ayam hingga ikan.
Selain tradisi, umat muslim di Ningxia juga menyiapkan pertunjukan khusus di Hari Raya Idul Adha ini. Pertunjukan digelar di Taman Rakyat menyajikan pagelaran tarian dan nyanyian khas etnik Hui. Aneka tarian dan nyanyian etnis Hui tradisional dipadu dengan sentuhan modern membuat pertunjukan enak ditonton. Tata lampu, permainan gambar di latar belakang serta kostum pemain yang berwarna-warni membuat suasana semakin hidup.
Lagu-lagu dalam pertunjukan ini satu persatu mengalun memeriahkan suasana hari raya. Kemeriahan pesta dengan semangat keagamaan segera menyeruak diantara mereka. Kami tak mengerti bahasa lagu-lagu itu. Tetapi kami bisa menikmati alunan lagu dan menikmati meriahnya hari raya bersama mereka, mungkin karena semangat yang sama, menjalankan ritual kurban. Kami disatukan dengan bahasa Idul Adha. Tak terasa, 1,5 jam pertunjukan berlangsung. Kami larut dalam kebahagiaan penduduk Yinchuan.