Terlahir Kembali... Dengan Roh Berbeda
  2011-11-14 13:32:55  CRI

Nenek moyang mereka adalah saudagar hebat. Kejayaan para saudagar Anhui sudah membahana dan menjadi buah bibir orang-orang di seantero negeri.

 

Era emas serikat dagang Anhui, yang dikenal sebagai Huishang, berlangsung pada zaman Dinasti Song dan Tang, ketika para saudagar keluar dari lingkungan kampung mereka di Huizhou dan merajai bisnis perdagangan di seantero tanah Tiongkok, bahkan sampai ke Asia Tenggara, termasuk di kepulauan Nusantara. Saking pentingnya pengaruh para saudagar Anhui ini, ada ungkapan legendaris: "Tanpa saudagar Anhui, kota pun tidak akan menjadi kota".

Lima abad berlalu, dusun Xidi dan Hongchun di selatan kota Huangshan adalah sisa peninggalan ketangguhan nenek moyang. Sejak tahun 2000, kejayaan para saudagar Anhui bukan lagi hanya sekedar kebanggaan warga setempat, tetapi juga menjadi bagian khazanah sejarah dunia. Xidi dan Hongchun dimasukkan ke dalam daftar warisan sejarah UNESCO.

Belasan tahun lalu, saya datang kali pertama ke Xidi. Kala itu, dusun ini belum terbuka bagi kunjungan orang asing. Sopir berani menyelundupkan saya ke sini hanya karena wajah saya mirip warga Tiongkok. Pesannya cuma satu: saya dilarang keras bicara. Karena begitu saya buka mulut pasti langsung ketahuan bahwa saya orang asing, dan tentunya kami akan terlibat masalah. Alhasil, saya hanya bisa menyimpan kekaguman saya dalam bisu. Rumah-rumah kuno dan gelap, disinari secercah percikan sinar matahari yang menyeruak dari lubang di atap, sungguh seperti melemparkan saya ke masa lalu. Jiwa saya membuncah. Tetapi mulut saya tetap terkatup.

Hari ini, di tahun 2011, saya kembali datang ke Xidi. Namun nuansanya jauh berbeda. Tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi. Dusun ini terbuka bagi siapa saja. Rombongan kami bahkan penuh dengan kolega yang berkulit putih, masing-masing membawa kamera digital berukuran besar.

Danau di tepi dusun masih seperti yang dulu. Kabut pagi baru saja menyingsing, menyisakan refleksi gerbang dusun yang terpantul di atas air yang membiru. Masih nuansa mistis yang sama. Nenek moyang meninggalkan mereka sebuah dusun yang penuh sesak dengan rumah-rumah tua, masing-masing dengan kemolekan arsitektur, kerumitan dekorasi, dan lembaran sejarah yang berbeda. Dan inilah yang sekarang menjadi daya tarik utama Xidi sebagai bagian dari magnet pariwisata di Anhui.

Industri turisme di Xidi terbilang "matang". Ini berarti, sejak dibuka untuk turisme pada tahun 1989 dan masuk daftar UNESCO pada tahun 2000, pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan kenyamanan pengunjung terus digenjot, dan dusun ini semakin kebanjiran turis dalam dan luar negeri. Para guide pun disediakan gratis di pintu masuk, berseragam jaket merah, siap memandu barisan turis. Perjalanan tipikal di Xidi: masuk rumah kuno, mendengar penjelasan pemandu soal arsitektur dan sejarah, keluar, berjalan di gang sempit, masuk rumah kuno berikutnya. Ini adalah perjalanan "dari rumah ke rumah".

"Coba lihat altar ini. Dalam kultur Huizhou kita selalu mengutamakan keindahan yang simetris. Tetapi altar ini tidak simetris. Mengapa?" Sang pemandu, gadis mungil bertopi putih yang bicara melalui mikrofon elektrik, melemparkan pertanyaan yang kemudian dijawabnya sendiri. Mata saya masih merambahi sudut-sudut ruangan remang-remang itu perlahan. Hanya dua menit. Pemandu tadi sudah keluar ruangan. Kini dalam ruangan yang sama, sudah datang pemandu lain, dengan rombongan selusin turis lokal yang lain. "Coba lihat altar ini! Dalam kultur Huizhou kita selalu mengutamakan keindahan yang simetris...."

Suara puluhan pemandu sambung-menyambung seperti echo dengan interval dua menit. Cerita yang sama diulang ribuan kali, sama persis.

Dari sudut ruangan, menjerit seorang gadis berambut pirang. "Ayo! Belilah! Belilah! Kami adalah pemilik rumah ini, jadi tidak perlu membayar uang sewa. Murah! Murah! Semua barang bisa diskon 30 persen!" Ia duduk di atas kursi tua yang usianya setara dengan usia nenek buyutnya, di hadapan meja tua yang diseraki barisan buku-buku dan suvenir.

Rumah peninggalan nenek moyangnya kini adalah destinasi wisata wajib para turis ke Xidi, salah satu yang terindah di dusun ini. Sejarah, baginya, bukan sekedar kisah di atas buku. Sejarah adalah nafasnya. Ia tinggal dalam sejarah, hidup bersama sejarah. Pemerintah menetapkan rumah keluarga ini sebagai bagian dari warisan sejarah. Mereka masih diizinkan tinggal di sini, tetapi tidak boleh merusak, mengubah, atau menambah apa pun tanpa persetujuan dari pemerintah, yang mempertimbangkan banyak aturan ketat atas nama pelestarian peninggalan sejarah. Untuk pemeliharaan ini, mereka mendapat kompensasi dari pemerintah dan pemasukan rutin dari biro tur yang membawa turis.

Mereka juga wajib membuka pintu mereka bagi aliran manusia yang serba asing, ratusan tamu-tamu tak dikenal setiap hari yang dengan liar menjepretkan kamera ke semua sudut rumah mereka. Jejak-jejak kaki ratusan manusia asing mengotori halaman dan balairung rumah, tetapi pintu harus senantiasa terbuka: tujuh hari seminggu tanpa jeda, sepanjang jam kerja loket penjual tiket.

Ini sangat kontras dengan kehidupan nenek moyang mereka 500 tahun silam. Coba tengok, arsitektur tradisional khas Huizhou. Rumah-rumah di sini dibangun dengan tembok tinggi, terlihat dingin dan datar. Mereka memegang teguh prinsip implisitas (hanxu), tidak memamerkan kekayaan terhadap orang luar. Orang kaya menghiasi rumahnya dengan ukiran yang detail dan dekorasi mahal, tetapi itu hanya dalam interior rumah, sama sekali tidak kasatmata bagi orang luar. Tengoklah juga bagaimana rumah-rumah di sini tidak memiliki jendela, sehingga semua mengandalkan rongga di langit di halaman sempit yang tertutup tembok tebal. Ini karena para pemuda dari keluarga saudagar melanglang buana mengeruk kekayaan, sehingga yang tertinggal di rumah hanyalah orang tua dan anak-anak. Kekayaan yang melimpah ini tentu menjadi incaran para perampok dan pencoleng, karena itu mereka membangun rumah dengan dinding tinggi tanpa jendela ditambah pengamanan pintu berlapis-lapis. Jelaslah, betapa tertutup sifat nenek moyang itu.

Turisme memberi arti baru terhadap arti kata privasi. Garis batas privasi sudah bergeser dari pintu gerbang utama lebih jauh ke dalam rumah, atau ke loteng. Generasi penerus yang masih tinggal di sini harus menerima kenyataan bahwa tempat tinggal mereka adalah milik negara dan sebagian rumah mereka menjadi arena publik.

Dulu, pada zaman keemasan saudagar Anhui, komoditas utama mereka adalah garam, teh, dan sutra, membawa mereka merajai dunia perdagangan. Kemudian, seiring dengan pergantian dinasti dan penguasa berkali-kali, kejayaan itu menyuram. Keturunan para saudagar besar dan pejabat kuno itu malah menjadi kaum tani miskin di dusun terbelakang. Turisme, yang datang di penghujung abad XX, perlahan membangkitkan kembali dusun ini. Pintu gerbang perlahan terbuka, ekonomi perlahan membaik, gaya hidup perlahan berubah. Generasi kedelapan saudagar garam bermaga Hu (semua orang di Xidi bermarga Hu) kini duduk menawarkan buku dan brosur wisata, sedangkan generasi kedelapan pejabat tingkat sanpinguan (sekarang setara gubernur) menjajakan kartu pos. Di dusun Hongchun---dusun serupa yang tata letaknya menyerupai seekor lembu---generasi kedelapan seorang saudagar kaya pemilik rumah besar sibuk membubuhkan tanda tangan dan cap istimewa di atas buku sejarah lokal yang dijual seharga 40Y. "Buku ini adalah tulisan pakar terkenal," katanya. Pakar itu bukan dirinya sendiri.

Kisah jaya-ambruk-bangkit yang paling tragis mungkin adalah keluarga terkaya di Hongchun, Wang Dinggui (汪定贵---yang namanya berarti "Pasti Berharga"). Saudagar kuno ini saking kayanya sampai menggunakan 4 kilogram emas murni 24 karat untuk melapisi ukiran di dalam rumahnya. Ada beberapa ruangan besar di sini, termasuk vihara kecil dan ruangan para selir. Pintu rumahnya punya empat lapis pengaman, mulai dari kunci gembok, kayu penyangga, sampai bodyguard manusia. Dia juga sanggup membeli gelar pejabat sebagai wupinguan (setingkat walikota zaman sekarang).

Tetapi, keturunannya tidak satu pun yang tersisa di sini. Pada zaman Revolusi Kebudayaan, orang kaya macam keluarga saudagar ini, yang juga memiliki berhektar-hektar tanah di sekitar kampung, adalah kelompok tuan tanah yang menjadi musuh kaum proletar. Semua keturunannya kocar-kacir, melarikan diri sampai ke Kanada, Amerika, Hong Kong, bahkan Malaysia. Para tetangga yang ingin melindungi rumah ini dari perusakan berinisiatif menutupi ukir-ukiran indah dan mahal dalam rumah ini dengan menggunakan semen, kemudian masih disamarkan di bawah selubung banner slogan-slogan komunisme.

Turisme, lagi-lagi, adalah penyelamat bangunan sejarah. Rumah kuno Wang Dinggui dikkukuhkan menjadi peninggalan sejarah, lalu direstorasi. Ukir-ukiran terselubung di balik semen yang memadat kini sudah dipulihkan, dan masih memancarkan sedikit kemilau emas dari zaman keemasan itu. Rumah besar ini dikunjungi jutaan orang, semua tentu berdecak kagum akan kekayaan Wang Dinggui dan citarasa seninya yang luar biasa. Rumahnya adalah sebuah perjalanan sejarah: hidup, mati, lalu terlahir kembali dalam esensi berbeda---sebagai museum.

Menyusuri Xidi dan Hongchun adalah perjalanan merenungi lintasan dimensi sejarah. Naik turun, jatuh bangun, membuat saya mau tidak mau jadi teringat pepatah ampuh bangsa Tionghoa: kekayaan tidak akan melewati tiga generasi (semoga kemiskinan juga tidak lebih dari tiga generasi). Nenek moyang mereka, para saudagar Hui yang tersohor itu, begitu gagah berani mendaki gunung, menuruni lembah, melintasi gurun, menyeberangi lautan, melanglang dunia sampai ke negeri jauh di seberang lautan untuk berdagang. Keturunan generasi kedelapan justru tersekap di rumah tua bersama kebanggaan akan nenek moyang, memperdagangkan buku, VCD, brosur wisata, dan pernak-pernik suvenir kepada turis yang datang dari seberang lautan. Rumah-rumah kuno dan kebanggaan masa lalu kini berubah fungsi menjadi losmen, warung, dan toko yang menjual semua jenis suvenir, mulai dari baju, kain, kalung, poster, sampai regalia komunisme era Mao.

"Kehidupan sekarang jauh lebih baik," kata kakek yang juga keturunan ke-8 marga Hu pemilik rumah besar di jalan utama Xidi, "Sebelum pariwisata dibuka, kami sangat miskin. Siapa yang sanggup merawat rumah tua ini kalau bukan berkat pemerintah? Dan karena turis, kami jadi dapat uang."

Stop Play
Terpopuler
• Xi Jinping Temui Pangeran Andrew Edward
• Xi Jinping Sebut Tiongkok Akan Berkembang dalam Lingkungan Keterbukaan
• Xi Jinping Memimpin Sidang Pertama Komisi Pekerjaan Urusan Luar Negeri Komite Sentral PKT
• Tiongkok Siap Berikan Pembalasan Terhadap Tarif Impor Baru AS
• Wang Yi Temui Menteri Luar Negeri Korea Utara Ri Yong Ho
• Xi Jinping Adakan Pembicaraan dengan Presiden Zimbabwe
Indeks>>
Komentar Pembaca
• Surat dari pendengar setia Bpk. Rudi Hartono
5 tahun sudah berlalu saya bersama rekan H Sunu Budihardjo mengunjungi Kota Beijing dimana telah terukir  kenangan terindah dalam kehidupan saya dalam memenangkan Hadiah Utama 60 tahun hubungan diplomatic Tiongkok – Indonesia dan 60 tahun berdirinya China Radio International. Saya bersama rekan H Sunu Budihardjo menuju Beijing pada 12 Juli 2010 disambut hangat oleh salah satu penyiar CRI, Nona Nina di Bandara International Beijing.  Kami pun menginap di salah satu hotel di Beijing untuk melakukan perjalanan wisata kota Beijing. Berikut tempat wisata yang kami kunjungi adalah :
• 0062813****0007
1. CRI (Bahasa Indonesia) disiarkan melalui Elshinta. Sekarang pindah gelombong berapa ? 2. Apa CRI (Bahasa Indonesia) tdk diadakan lagi di Indonesia ? Mohon balasan !
• 0062813****2398
halo,sy orang china yg belajar di indonesia, tadi sy mendengar acara LENTERA, judulnya Hunan. dalam perbincangan ini, mereka bilang di China ada 31 propinsi, informasi ini salah,sebenarnya di negara sy ada 34 propinsi.
• 0062852****5541
bpk maliki yangdhsebut roh papaptlimo pancer semua itu roh goep kalao orang yang ber agama itu beri nama para dewa itusemua menyatu dengan alam papat nomer satu aer yang disebut kakang kawa dua adik ariari tiga puser empat gete atau dara yang alam papat aer bumi angen api makanya kalau sembayang harus aranya kesitu itu yang benar roh empat itu yang menjaga manusia tiga alam semua meyakinni agama menyimpang dari itu sekarang alam suda rentan karena manusia suda menyimpang dari itu orang kalau jau dari itu tidak bisa masok suargo yangdi sebut suargo artinya sokmo masok didalam rogo manusia lagi bareng sama
Indeks>>
© China Radio International.CRI. All Rights Reserved.
16A Shijingshan Road, Beijing, China. 100040