Sebelum mengenal CRI, aku sudah lebih dulu tertarik pada kebudayaan Tiongkok. Sejak SD aku suka menonton drama Mandarin. Aku juga ingin belajar bahasa Mandarin. Tapi reaksi yang timbul dari orang-orang di sekitarku, terutama keluarga, sangat tidak bersahabat. Mereka pikir aku hanya main-main. Lagi pula menonton drama Mandarin dan mendengarkan lagu Mandarin sudah merupakan hobi yang cukup aneh di mata keluargaku.
Di SMP aku dijauhi dan dikucilkan oleh teman-teman sekelas. Aku dianggap anak yang tidak normal karena menyukai dunia hiburan Mandarin dan budaya Tiongkok.Sangatberbeda dengan anak-anak lain seusiaku. Aku pun hanya bisa bergaul dengan beberapa orang teman yang sama-sama tertarik dengan budaya Tiongkok. Mengingat masa-masa itu sungguh sakit rasanya. Aku terus bertanya-tanya mengapa mereka menjauhiku karena hal ini? Apakah salah jika orang Indonesia tertarik dengan budaya Tiongkok? Sedangkan teman-teman lain yang mengidolakan artis luar negeri selain Tiongkok, dianggap biasa saja. Di sekolah aku tak pernah jajan. Uang saku yang akunperoleh selalu ditabung untuk membeli buku- buku tentang Tiongkok. Aku juga memajang peta RRT di dinding kamar. Aku sungguh sangat berharap suatu hari nanti bisa pergi ke Tiongkok. Dengan demikian perlakuan buruk dari teman-teman bisa aku lupakan. Kemudian aku menulis kisah khayalanku menjadi sebuah novel. Novel itu menceritakan tentang seorang anak perempuan dari Indonesia yang bersahabat dengan anak laki-laki asal Tiongkok. Aku membayangkan anak perempuan itu adalah diriku sendiri. Di luar dugaan novel ini sangat disukai teman- temanku dan juga dibaca beberapa orang guruku. Aku merasa sedikit terhibur.
Keadaan menjadi lebih baik setelah aku duduk di bangku SMA. Pengetahuanku tentang Tiongkok yang melebihi teman-teman lain membuat aku sering diminta guru bahasa Indonesia untuk mengikuti lomba menulis, terutama jika temanya berhubungan dengan budaya Tionghoa. Lulus dari SMA aku bercita-cita melanjutkan kuliah di fakultas bahasa Mandarin. Sayang sekali. aku tak punya biaya. Aku menganggur selama satu tahun. Waktu luang yang banyak kuhabiskan untuk mempelajari ilmu Sinologi dan mencoba belajar bahasa Mandarin dari buku pelajaran yang kubeli sendiri. Kemudian aku bersahabat pena dengan seseorang yang berasal dari kota Cirebon. Dialah yang memperkenalkan aku pada CRI. Tak terkatakan betapa bahagianya aku! Akhirnya aku menemukan sarana yang dapat membantu mengenal Tiongkok lebih dekat! Aku mulai aktif mendengarkan siaran CRI, membuka website, lalu menghubunginya lewat surat dan email.
Tahun 2009, aku bekerja di laundry sebagai pegawai tidak tetap. Gajinya sangat kecil. Tapi aku masih berusaha menabung untuk membeli buku-buku tentang Tiongkok dan pelajaran bahasa Mandarin. Beberapa bulan kemudian aku membaca iklan kursus bahasa Mandarin dengan biaya murah. Namun jam kursus bentrok dengan jam kerja. Aku membicarakan masalah ini dengan atasan dan ia memberiku ijin keluar di tengah jam kerja untuk mengikuti kursus bahasa Mandarin. Kursus selesai dalam waktu tiga bulan, dan yang aku dapat baru pelajaran bahasa Mandarin tingkat dasar.
Sampai sekarang aku masih terus berusaha agar bisa melanjutkan kursus ke tingkat lanjut. Yang membuatku sangat sedih adalah, sudah lebih dari empat tahun berlalu sejak aku mengenal CRI dan mencoba menghubungi lewat email maupun surat. Namun sampai sekarang aku belum pernah mendapat balasan apa pun. Bila pendengar lain ada yang mendapat kalender dan aksesori, aku juga belum pernah dapat apa-apa. Aku hanya berharap melalui tulisan yang kukirimkan dalam lomba ini, hubunganku dengan CRI bisa terbuka. Setiap huruf yang kutuliskan adalah cinta, dan hati ini selalu menunggu uluran tanganmu yanga hangat untuk merengkuhnya... Tiongkok, entah dengan cara apa aku bisa lebih dekat denganmu bila tidak melalui CRI? Apakah aku bisa mengawali perjalanan setelah penantian panjang yang tak pasti melalui CRI?