Rabu, 7 Agustus 2013. Pusat kota daerah otonomi Mongolia, Hoboksar, Tacheng, Daerah Otonomi Uygur Xinjiang, RRC. Pagi ini para peserta Xinjiang di Lensaku dibawa menunju sebuah rumah milik penguasa setempat tempo dulu. Bangunannya berarsitektur perpaduan gaya setempat dan rusia. Bahkan kalau tidak salah, menurut pemandu yang membawa kami, arsiteknya adalah orang Rusia. Kami cuma diajak melihat rumah tersebut dari luar saja, tanpa mengeksplorasi sekelilingnya. Sayang, padahal di sekelilingnya banyak terdapat hal yang bisa difoto.
Kami pun selanjutnya dibawa menuju bangunan baru yang di depannya didirikan patung Janggar, seorang tokoh legenda setempat. Janggar digambarkan sebagai seorang pejuang sekaligus penguasa dari Mongolia yang bertahta di kawasan yang kini dikenal dengan nama Hoboksar. Bangunan di kompleks ini masih dalam tahap pembangunan. Saat kami mengunjungi tempat ini, para pekerja masih sibuk mengerjakan kawasan kompleks bangunan Janggar.
Ok, selesai mengunjungi bangunan Janggar kami diajak melihat bekas reruntuhan Kerajaan Zhuige'er. Kerajaan ini juga merupakan penguasa lokal yang berasal dari etnis Mongolia. Bangunan kerajaan yang tersisa hanyalah tinggal tembok keliling kerajaan. Menarik buat saya, tembok disini dibangun dari tanah dicampur lumpur dan bebatuan. Tidak ada bekas bangunan keraton atau istananya. Dahulu etnis Mongolia dahulu jarang mendirikan bangunan batu, melainkan mereka mendirikan tenda-tenda sebagai tempat tinggal dan beraktivitas. Jadi asumsi saya, di dalam reruntuhan tembok istana itu tentunya terdapat tenda-tenda khas Mongolia sebagai pusat pemerintahan sekaligus tempat tinggal dan beraktivitas kala itu. Keterangan yang saya dapat dari pemandu adalah istana ini ditinggalkan karena kalah perang melawan kaisar dari dinasti Ching. Hmmm.. ternyata sama seperti di Indonesia, dahulu keraton-keraton di nusantara apabila kalah perang dan keraton berhasil diduduki musuh, maka akan ditinggalkan dan dibangun istana baru di tempat yang baru. Istilahnya kalau di nusantara, khususnya di Jawa dan Sumatera, tempatnya dianggap sudah tidak lagi membawa keberuntungan. Seperti yang terjadi pada Kerajaan Majapahit dan Mataram, yang memiliki beberapa lokasi situs keraton. Mungkin sama juga di China, tempatnya sudah tidak hoki lagi jadi harus ditinggalkan.
Next destination. Kami diajak mengunjungi padang rumput Chagankule. Masih di kawasan otonomi Hoboksar. Kami disambut orang-orang etnis Mongol berbusana tradisional sambil memberikan penyambutan penghormatan ala Mongolia. Mereka bernyanyi menyambut kami, lalu kami dikalungi selendang dan disuguhkan arak tanda selamat datang. Keren! Saya benar-benar terpesona dengan suguhan budaya penduduk setempat dan warna-warni busana tradisonal etnis Mongolia. Ini yang saya mau, aktivitas budaya seperti ini yang saya tunggu selama mengikuti kegiatan Xinjiang di Lensaku. Tidak berhenti saya membidik kamera saya. Jepret sana jepret sini. Nice… Saya pun mendapat banyak foto bagus dari padang rumput Chagankule.
Tidak pernah terbayang oleh saya bahwa akhirnya akan bertemu orang-orang Mongolia, yang selama ini saya hanya tahu dari literatur Sejarah tentang cerita Jengis Khan dan Kubilai Khan. Bagaimana mereka pernah menguasai hampir seluruh dataran Eropa dan Asia. Mungkin satu-satunya wilayah yang gagal mereka duduki di kawasan Asia, khususnya pada zaman Kubilai Khan adalah bumi nusantara yaitu tanah air saya, Indonesia. Tapi biar bagaimana pun saya mengagumi Jengis Khan dan Kubilai Khan, keduanya merupakan tokoh besar yang namanya akan selalu disebut dalam pelajaran sejarah dunia. Siapa tau suatu saat nanti saya bisa mengunjungi wilayah pusat Mongolia, mengunjungi situs-situs peninggalan Jengis Khan dan Kubilai Khan #ngarep. Ok, saya rasa cukup pelajaran sejarahnya, hehe.
Kami disini, di Padang Rumput Chagankule dijamu makan siang makanan khas Mongolia. Sebelum makan saya ditawarkan untuk mengenakan busana tradisional Mongolia. Ok lah, saya mau, lumayan buat nambah foto-foto narsis, hehe.. Akhirnya saya dan beberapa peserta Xinjiang di Lensaku bernarsis-narsis ria mengenakan busana tradisional Mongolia. Hari yang menyenangkan, saya benar-benar puas.
Malam hari saya dan Nor dari Malaysia serta Tarek dari Mesir dijamu makan malam. Mengingat bahwa besok merupakan Idul Fitri alias Lebaran, maka para perwakilan pejabat penerangan dari Xinjiang, Tacheng dan Hoboksar serta kawan-kawan CRI menjamu kami dengan makan malam spesial. Satu per satu dari mereka mengucapkan selamat Idul Fitri. Cukup mengharukan, saya larut dalam kegembiraan sekaligus sedih karena besok akan berlebaran jauh dari keluarga. Tidak bisa merayakan Idul Fitri bersama kedua anak, istri dan orang tua serta keluarga besar saya. Berlebaran di negeri orang, sendirian, sangat berat rasanya. Saat ini saya hanya punya Nor dan Tarek yang bisa diajak berbagi makna Idul Fitri sebenarnya. Anyway, terima kasih semuanya yang sudah memberi kami perayaan menyambut Idul Fitri.
Selesai perjamuan saya pun kembali ke kamar hotel. Kembali merenung tentang Lebaran kali ini. Bertakbir sendiri di kamar sambil terbayang keluarga nun jauh disana..
|