Menjelang pembukaan konferensi ke-15 pihak-pihak penandatangan Konvensi Kerangka Perubahan Iklim PBB di Copenhagen, Tiongkok mengumumkan target pengurangan emisinya yakni sampai tahun 2020, mengurangi 40 sampai 45 persen emisi karbon dioksida per unit produk domestik bruto (PDB). Target pengurangan emisi yang pertama kali disusun Tiongkok bagi dirinya sendiri itu menunjukkan kepedulian Tiongkok atas perubahan iklim dan citra Tiongkok sebagai negara besar yang bertanggung jawab, juga "berperan memberikan contoh" untuk mendorong KTT Copenhagen mencapai hasil substansial. Sementara itu, target yang diajukan berdasarkan kondisi pokok Tiongkok tersebut adalah komitmen yang dapat dipenuhi hanya dengan upaya keras.
Kecenderungan pemanasan global dalam puluhan tahun belakangan ini semakin nyata, sebagai akibatnya, kekeringan, suhu tinggi, badai salju dan bencana cuaca ekstrem kerap terjadi, dan kondisi kelangsungan hidup manusia menjadi semakin berat. Konvensi Kerangka Perubahan Iklim PBB dan Protokol Kyoto adalah dokumen hukum pertama yang dirumuskan masyarakat internasional untuk menghadapi perubahan iklim. Konferensi Copenhagen kali ini diselenggarakan untuk membahas rencana pengurangan gas rumah kaca antara tahun 2012 dan 2020 di atas dasar target pengurangan emisi yang digariskan kedua dokumen itu, dan diupayakan untuk mencapai sebuah persetujuan internasional yang mengikat. Oleh karena itu, Konferensi Copenhagen juga disebut tindak lanjut Protokol Kyoto.
Mengingat latar belakang sejarah dan rumitnya masalah perubahan iklim, Protokol Kyoto menetapkan prinsip "tanggung jawab bersama namun berbeda", yakni negara-negara industri maju memikul tanggung jawab utama pengurangan emisi gas rumah kaca, dan merumuskan target pengurangan emisi yang konkret; sedang negara-negara berkembang memikul kewajiban pengurangan emisi di atas dasar sukarela, dan tidak perlu merumuskan target wajib pengurangan emisi.
Tiongkok sebagai negara berkembang telah melakukan upaya sangat besar untuk meredakan pemanasan iklim. Kali ini Pemerintah Tiongkok menjanjikan akan mengurangi dalam taraf besar emisi karbon dioksida per unit PDB dalam 10 tahun ke depan. Hal ini menunjukkan kesungguhan Tiongkok untuk aktif ambil bagian dalam upaya masyarakat internasional untuk meredakan perubahan iklim. Komitmen Tiongkok itu mendapat penilaian positif masyarakat internasional. Seorang juru bicara Sekretariat Perubahan Iklim PBB menyatakan, berita ini "sangat memberikan semangat"; Komisi Uni Eropa berpendapat bahwa ini adalah peran contoh yang diberikan Tiongkok bagi perundingan kali ini. Sekretaris pelaksana Konvensi Kerangka Perubahan Iklim PBB, Ivo De Boer menyatakan, komitmen Tiongkok telah menyingkirkan kendala penting bagi dicapainya persetujuan menyeluruh.
Sebagai negara berkembang yang terbesar, Tiongkok menghadapi tugas sangat berat mengembangkan ekonomi dan memperbaiki kesejahteraan rakyat. Maka dalam menghadapi masalah perubahan iklim, titik berpijak Tiongkok adalah meningkatkan efisiensi pemanfaatan energi dan menurunkan konsumsi energi per unit PDB dengan menerapkan teknologi baru. Ini adalah strategi pembangunan yang dirumuskan Tiongkok sesuai dengan kondisi di negerinya.
Pada kenyataannya, ekonomi Tiongkok sementara mencatat perkembangan pesat dalam 30 tahun terakhir ini, konsumsi energi per unitnya terus menerus mengalami penurunan. Tiongkok aktif menghadapi perubahan iklim dengan terus menerus merestrukturisasi industri dan energinya, mengafkir kapasitas produksi yang tertinggal, mengembangkan energi terbarukan, serta mengambil kebijakan, langkah dan tindakan yang kuat. Menurut statistik, terhitung sampai semester pertama tahun ini, konsumsi energi per unit PDB Tiongkok sudah turun 13 persen di atas dasar tahun 2005, porsi energi terbarukan dalam total konsumsi energi satu kali Tiongkok sudah meningkat sampai 9 persen tahun 2008 dibanding 7,5 persen pada tahun 2005. Selain itu, Tiongkok kini sudah menjadi negara yang paling luas areal hutan buatannya. Meski menghadapi krisis keuangan yang serius, tekad Tiongkok untuk menghadapi perubahan iklim juga tidak pernah goyah. Dalam rencana stimulus ekonomi Tiongkok bernilai 4 triliun yuan, terdapat 210 miliar yuan langsung diinvestasikan untuk pembangunan pelestarian lingkungan hidup dan ekologi.
Perubahan iklim disamping masalah lingkungan hidup, juga masalah pembangunan. Berdasarkan ketetapan Konvensi Kerangka Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto, negara-negara industri maju mempunyai kewajiban menyediakan dana dan teknologi kepada negara-negara berkembang untuk membantu mereka mengembangkan ekonomi dan memperbaiki kesejahteraan rakyat. Tuntutan sejumlah negara industri maju kepada negara-negara besar berkembang seperti Tiongkok, Brasil dan India untuk memenuhi target wajib pengurangan emisi disamping melanggar prinsip "tanggung jawab bersama namun berbeda", juga tidak dapat diterima oleh negara-negara berkembang.