PEOPLE'S DAILY: Pertemuan menteri luar negeri Forum Regional ASEAN yang berakhir di Kamboja pekan lalu, untuk pertama kalinya dalam 45 tahun terakhir, gagal menghasilkan Komunike Bersama. Sebagian media Barat menyebut hal itu sebagai "kegagalan" ASEAN, dan sengaja mengeluarkan argumentasi bahwa ASEAN sedang bergerak menuju "perpecahan". Akan tetapi, opini dari kawasan Asia Tenggara telah memberi bantahan atas argumentasi Barat, dan menegaskan perlunya meningkatkan kerja sama dengan Tiongkok.
Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini menyatakan kecewa terhadap pernyataan bahwa ASEAN telah pecah. Ia menyatakan tidak setuju, ASEAN tidak pecah, dan tidak ada perpecahan di ASEAN meskipun ada isu dan masalah yang harus diselesaikan oleh ASEAN.
Harian Nasional Thailand mengkritik Filipina yang bersikeras pada pendiriannya sendiri, dan meningkatkan kerja sama pertahanan dengan AS dengan tidak mengindahkan kemarahan negara anggota lainnya. Harian Bangkok Post menyatakan, tidak tercapainya komunike bersama berarti ASEAN masih berbekal semangat "tidak mengintervensi" yang merupakan prinsip dasarnya. Harian Bangkok Post mengimbau semua pihak meninggalkan ide perang dingin, dan bersatu demi penyelesaian bentrokan maritim.
Bangkok Post juga mengatakan, Thailand akan menjabat sebagai koordinator dialog ASEAN-Tiongkok pada 25 Juli mendatang. Sebagai koordinator, Thailand berkewajiban melobi semua pihak untuk bersikap dengan kepala dingin. Thailand mendukung penyelesaian bentrokan melalui dialog bilateral yang melibatkan semua pihak yang bersangkutan. Pendirian ini sama dengan pendirian Tiongkok.
Profesor Huang Jing dari Balai Riset Asia dan Globalisasi di bawah the National University of Singapore menyatakan, jika ASEAN bersikeras untuk mencapai suatu kesepakatan internal dalam masalah Laut Tiongkok Selatan, maka hal itu pasti akan menimbulkan krisis yang lebih parah, bahkan mendatangkan perpecahan ASEAN, sehingga ASEAN pada akhirnya kehilangan posisi sebagai kekuatan independen, alias menjadi alat negara lain. Ini nyata sekali tidak sesuai dengan kepentingan mendasar setiap negara anggota ASEAN.
Sebagian media negara ASEAN khawatir negara anggota ASEAN pada akhirnya harus "bersikap" dalam masalah Laut Tiongkok Selatan yang merupakan hasil pertarungan antara AS dan Tiongkok di kawasan ini.
Huang Jing mengatakan, bukan semua negara anggota ASEAN berbentrokan wilayah dengan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan. Perselisihan juga terdapat antara negara anggota ASEAN yang mengklaim wilayah di Laut Tiongkok Selatan. Mereka sendiri juga saling berlawanan. Seiring dengan perkembangan pesat ekonomi Tiongkok, Tiongkok semakin menjadi pusat ekonomi kawasan ini, dan telah berfungsi sebagai motor di kawasan ini. Perkembangan jangka panjang negara-negara ASEAN termasuk Vietnam dan Filipina telah berkaitan erat dengan ekonomi Tiongkok. Setelah AS mengumumkan strategi untuk berfokus pada Asia dan Pasifik, sejumlah negara telah salah memahami situasi, sehingga telah membawa dampak negatif serius tidak hanya bagi hubungan ASEAN dan Tiongkok, tetapi juga bagi hubungan ASEAN dengan AS, bahkan bagi hubungan antara Tiongkok dan AS.
Huang Yishan dari Akademi Hubungan Internasional Rajaratnam di bawah Singapore Nanyang Technological University mengatakan, kegagalan tercapainya komunike bersama dalam pertemuan menlu ASEAN sebenarnya adalah permulaan baru bagi ASEAN yang cenderung matang, pragmatis, dan berkelanjutan. Negara anggota ASEAN akan menggunakan kesempatan ini untuk meningkatkan persatuan dan integrasi ke suatu level yang baru. Bagaimana pun masalah Laut Tiongkok Selatan bukan semua masalah yang dihadapi ASEAN, yang kini dirundung pula masalah ekonomi dan politik yang kompleks. Kerja sama ASEAN dengan negara lain dan kerja sama antar negara anggota ASEAN seharusnya tidak terpengaruh oleh masalah Laut Tiongkok Selatan.