Menteri Luar Negeri Jepang Koichiro Genba kemarin menemui Wakil Menteri Luar Negeri AS Williams Burns, lalu berangkat menuju Eropa untuk mengunjungi Perancis, Inggris, dan Jerman. Selain ingin meningkatkan hubungal bilateral dengan ketiga negara tersebut, Koichiro Genba juga mengadakan pembahasan mengenai situasi dunia, sekaligus juga mencoba mencari "pengertian" dunia pada masalah Pulau Diaoyu. Di pihak lain, pakar dan publik Eropa mendesak Jepang mengakui sejarah.
Pakar Masalah Politik Internasional Kantor Riset Global dan Regional Jerman menyatakan, persengketaan Tiongkok-Jepang pada masalah Pulau Diaoyu adalah sebuah masalah peninggalan sejarah. Masalah itu selain menyangkut masalah tanggung jawab, permintaan maaf, dan kompensasi Jepang terhadap negara-negara di sekitarnya dalam Perang Dunia II, juga terpengaruh hubungan sekutu strategis AS-Jepang dalam Perang Dingin. Semakin menguatnya Tiongkok mendatangkan kekecewaan negara tetangga, tetapi kekecewaan itu tidak memiliki dasar realistis. Dilihat dari sejarah, Tiongkok dalam ratusan tahun selalu memainkan peranan penting dalam memelihara kestabilan di kawasan, dan Tiongkok tidak pernah menunjukkan keinginan perang dan ekspansi.
Ia berpendapat, sengketa Tiongkok-Jepang pada masalah Pulau Diaoyu juga adalah sebuah masalah geopolitik, dan bukan hanya Tiongkok dan Jepang terlibat dalam konflik itu, melainkan juga ada campur tangan AS. Setelah terjadinya sengketa, Tiongkok menunjukkan sikap menahan diri, memelihara kesatuan diplomasi, juga tidak menunjukkan sikap yang agresif. Maka, kekecewaan sejumlah negara adalah tidak perlu dan Tiongkok telah menunjukkan kesadaran yang bertanggung jawab.
Ia mengatakan, seusai Perang Dunia II, Jerman mengakui kesalahannya dalam perang dan mengupayakan perdamaian dengan negara-negara tetangga seperti Perancis dan Polandia. Jerman bahkan bekerja sama dengan Perancis dan Polandia untuk menyusun buku pelajaran demi menjamin kelangsungan fakta sejarah dan kebenaran. Akan tetapi, di Jepang masih terdapat dua kubu yaitu kubu yang mengakui sejarah dan kubu yang tidak mengakui sjearah. Kekuatan sayap kanan Jepang yang tidak mengakui sejarah bahkan mendanai dipublikasikannya buku pelajaran yang salah dalam menuliskan sejarah.
Pakar geopolitik Perancis mengatakan, nasionalisasi Pulau Diaoyu secara paksa oleh Jepang mutlak bukan cara penyelesaian yang tepat dan juga mengganggu hubungan dengan Tiongkok. Untuk mencegah meningkatnya sengketa, diperlukan konsultasi dan dialog untuk menyelesaikan masalah.
Harian Echo Perancis melukiskan Pulau Diaoyu sebagai pulau yang menimbulkan kemarahan, dan latar belakang sengketa adalah bekas luka sejarah. Mereka berpendapat, Asia belum benar-benar menyelesaikan halaman Perang Dunia II. Jerman telah berintrospeksi dan meminta maaf terhadap dosa mereka terhadap negara-negara tetangga, sedangkan negara-negara Asia terutama Tiongkok dan Korea Selatan masih menuduh Jepang tidak pernah menyesali dosa. Buku sejarah Jepang tetap menghindari sejarah agresi mereka terhadap Tiongkok, lebih-lebih fakta pembantaian di Nanjing, dan ini adalah luka berat dalam hati orang Tiongkok.