Presiden Mesir Mohamed Morsy dalam dekrit yang dikeluarkan hari Minggu lalu meminta militer berkoordinasi dengan tugas pihak kepolisian. Sementara itu, ia memberi wewenang kepada militer untuk melakukan penangkapan berdasarkan tujuan menjaga ketertiban.
Berdasarkan permintaan itu, militer Mesir akan berkoordinasi dengan tindakan polisi untuk menjaga ketertiban, dimulai dari hari Minggu waktu setempat sampai diumumkannya hasil referendum mengenai rencana konstitusi. Dalam menjalankan tugas tersebut, militer diberi wewenang untuk melakukan penangkapan serta wewenang untuk menyerahkan mereka yang ditangkap ke pihak kejaksaan. Yang patut diperhatikan adalah bahwa tugas tersebut mencakup penjagaan insitusi vital negara. Menurut analis, ini berarti bahwa sejak konflik berdarah di luar istana presiden yang mengakibatkan lebih 700 orang tewas dan cedera tanggal 5 Desember lalu, terjadi sedikit kelonggaran pada pendirian militer yang tadinya tidak inisiatif melibatkan diri dalam konflik antara golongan liberal sekular dan kekuatan konservatif Islam.
Kini masih sulit dipastikan apakah pihak militer Mesir akan ambil bagian dalam pertikaian. Namun militer Mesir ingin menjaga kestabilan dengan melibatkan diri secara terbatas dalam situasi dewasa ini. Sejak pergantian besar-besaran jajaran tinggi militer pada musim panas yang lalu, pihak militer Mesir jarang menyatakan sikap terhadap perubahan dan perkembangan situasi. Pada masa belakangan ini, pihak militer mengeluarkan pernyataan yang "tidak akan membiarkan" terus berlanjutnya konflik, dan setelah itu mengklarifikasi pendiriannya untuk tidak menginterfensi politik. Dari pernyataan itu terlihat sikap militer Mesir yang menahan diri.
Sejak militer diberi wewenang untuk menangkap mereka yang mengganggu ketertiban, pihak militer menjadi variabel yang harus diperhitungkan dengan sungguh-sungguh oleh golongan sekular dan golongan konservatif dalam pertarungan politik kali ini. Berhubung pelimpahan wewenang tersebut dibuat oleh pemerintah Morsy, dan sejumlah pimpinan senior militer juga diangkat oleh Presiden Morsy musim panas yang lalu, maka antara pemerintah dan militer terdapat saluran komunikasi yang lebih erat, dan ini barangkali sulit dilakukan oleh pemimpin oposisi.
Dilihat dari pendirian masing-masing, baik pemerintah maupun oposisi di Mesir tidak mungkin memenuhi tuntutan pihak lain. Sejak terjadi konflik berdarah hari Minggu lalu, Presiden Morsy telah menyatakan pendirian untuk berkompromi. Setelah mengadakan pertemuan dengan oposisi, Morsy menyatakan kesediaan untuk menghapus pasal ke-6 dari pernyataan konstitusional barunya. Berdasarkan pasal tersebut, presiden berhak membuat segala keputusan dan mengambil segala tindakan untuk mencegah ancaman terhadap kesatuan dan keamanan negara serta terhadap pekerjaan lembaga negara. Dan pada dini hari Minggu lalu, Morsy membatalkan sepenuhnya pernyataan konstitusional lama yang mengundang kontroversi luas. Namun, penyelenggaraan referendum konstitusional sesuai jadwal yang dipertahankan oleh Morsy justru merupakan titik perselisihan kedua pihak. Pihak oposisi menganggap rencana konstitusi tersebut tidak sempurna, dan kurang luas representatifnya, sedang bagi pihak Morsy, ini adalah garis dasar maksimum, kalau mereka mundur dari garis itu, akan ditentang oleh pendukungnya, dan semua upaya yang dilakukan sebelumnya akan mubasir.
Kini Presiden Morsy mendapat dukungan Komisi Yudisial Tertinggi Nasional mengenai referendum konstitusional, dan pihak militer juga akan mengawasi ketertiban sosial sampai diumumkannya hasil referendum. Dilihat dari situasi dewasa ini, tidak tertutup kemungkinan konstitusi akan diluluskan melalui referendum.
Namun ada dua hal yang dikhawatirkan dunia luar: pertama, dalam beberapa hari menjelang referendum, akankah salah satu pihak nekat menimbulkan konflik yang lebih besar? Dan kedua, sungguhpun konstitusi diluluskan melalui referendum, apakah pihak oposisi bakal mempertanyakan keabsahan hasil referendum? Kesemua ini perlu kita amati perkembangannya.