Kepala Bagian Internasional PT Dua Kelinci Vincent Kohar mengatakan bisnis ekspor ke Tiongkok sebenarnya tidak sulit. Ia menanggapi sebagian perusahaan yang menganggap pasar Tiongkok sulit ditembus karena berbagai macam rintangan, seperti proses yang rumit, keterbatasan pengetahuan pengusaha Indonesia akan pasar Tiongkok, kesulitan berkomunikasi karena perbedaan bahasa, dan lain sebagainya.
"China is very easy sebenarnya," tutur Vincent. "Selama dapat distributor yang tepat, selama dia bisa distribusi, harusnya jalan."
PT Dua Kelinci adalah salah satu dari hampir 100 perusahaan Indonesia yang mengikuti Tiongkok-Asean Expo minggu ini di Nanning, Provinsi Guangxi, Tiongkok.
Banyak ekshibitor Indonesia berharap dapat menjaring distributor agar produk mereka dapat dijangkau oleh masyarakat Tiongkok.
Saat ini neraca perdagangan Indonesia memang masih mengalami defisit dengan Tiongkok, yaitu sebesar US$7 miliar pada akhir tahun lalu.
Sembari memasarkan produk-produknya, para ekshibitor juga memiliki beberapa keluhan dalam mengekspor produk mereka ke Tiongkok.
Nidia, salah satu ekshibitor dan pemilik Narwastu Aromatic & Body Care mengatakan, "Kalau ekspor ke China kemarin kendala kita orang China itu terlalu mendetail dengan barang kita. Jadi dia memang benar-benar minta yang alami. Barang kita masuk ke sini memang agak sulit karena dia merasa dia membuat produk seperti ini bisa."
Lalu ada juga Yuli Sugianto, pemilik perusahaan mebel Jogja Home Gallery yang mengeluhkan tentang keterbatasan kedua pihak dalam berkomunikasi. Yuli mengatakan, "Orang-orang China masih belum familiar dengan bahasa Inggris. Sehingga ketentuan-ketentuan ekspor impor pun kadang-kadang juga belum paham. Nah itulah yang harus perlu dilakukan sehingga kedua belah pihak bisa saling memahami."
Meskipun terdapat beberapa rintangan, tetapi Vincent dari PT Dua Kelinci berpendapat bahwa bisnis ekspor ke Tiongkok tidak sesulit yang orang bayangkan.
"Sebenarnya ke China tidak terlalu banyak masalah. Seperti misalnya registration trademark, cukup cepat, tidak sampai satu minggu sudah selesai. Mungkin lebih karena (produk) kami kacang, mereka pasti ingin protect produk kacang mereka, jadi import duty nya lebih tinggi," ujar Vincent.
Menurutnya, proses birokrasi di Indonesia juga adalah salah satu hambatan ekspor. Vincent mengatakan, "Kalau untuk kirim (produk makanan), kita kan butuh proses Free Sale (Sertifikat Kesehatan) di Indonesia. Nah itu saja yang mungkin kadang-kadang terlalu banyak birokrasinya. Di Indonesia nya sendiri kalau saya lihat, bukan di China."
Free Sale atau Sertifikat Kesehatan yang diperlukan untuk produk makanan dan minuman bisa didapatkan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM).
Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Indonesia Gusmardi Bustami juga menghadiri expo tersebut. Ia mengatakan produk-produk Indonesia di expo tahun ini cukup kompetitif jika dilihat dari banyaknya jumlah pengunjung. Ia mengakui terdapat peluang dagang yang sangat besar di Tiongkok dan ini merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk mengurangi defisit neraca perdagangan Indonesia dengan Tiongkok.
"Dalam pembicaraan bilateral Indonesia-China pada 2010 yang lalu, pihak China akan membantu Indonesia untuk meningkatkan promosi di China sendiri. Nah, kita sudah lakukan ini, sehingga ini akan lebih mengurangi angka defisit.
Gusmardi juga menganjurkan pengusaha Indonesia untuk menghubungi Kedutaan Besar Indonesia di Beijing untuk mendapatkan informasi tentang peluang bisnis dan prosedur berbisnis di Tiongkok.