PEOPLE'S DAILY: 1 Desember merupakan hari peringatan 70 tahun pemublikasian Deklarasi Kairo (Cairo Declaration) oleh Tiongkok, Amerika Serikat dan Inggris. Deklarasi Kairo mencatat kejahatan agresi Jepang untuk menangani masalah pasca perang dari Jepang. Dokumen itu membuka lembaran baru bagi pembinaan orde baru internasional pasca Perang Dunia II. Beberapa ahli masalah Asia Timur dari Korea Selatan dan Jerman berpendapat bahwa Deklarasi Kairo merupakan patokan perdamaian untuk membina order internasional pasca perang, dan Jepang harus menaatinya.
Ahli Korea Selatan Lee Waan Bum mengatakan, Deklarasi Kairo memproklamasikan asasi tujuan perang negara-negara sekutu melawan Jepang. Dokumen itu adalah untuk menangani masalah pasca perang dari Jepang sebagai agresor. Deklarasi Kairo merupakan deklarasi peringatan terhadap Jepang yang melancarkan perang agresi. Deklarasi Kairo dengan jelas menetapkan status wilayah di kawasan Asia Timur serta order baru pasca perang dan merupakan dokumen resmi yang membatasi wilayah Jepang pasca Perang Dunia II. Deklarasi Kairo mengecam agresi Jepang terhadap Tiongkok dan Semenanjung Korea, dan menuntut Jepang mengembalikan wilayah yang dirampasnya. Pemublikasian Deklarasi Kairo pada Desember tahun 1943 memperkokoh posisi Tiongkok sebagai salah satu dari empat negara sekutu terbesar anti-Fasisme pada Perang Dunia II.
Masalah Asia Timur dari Jerman Karl Pilning berpendapat, Deklarasi Kairo yang diumumkan pada 1 Desember 1943 menuntut Jepang mengembalikan semua kepulauan di Samudera Pasifik yang didudukinya sejak Perang Dunia I. Dokumen menuntut Jepang harus mengembalikan wilayah Tiongkok yang didudukinya. Semangat Deklarasi Kairo disebut dalam Proklamasi Potsdam yang ditandatangani pada Juli 1945. Proklamasi Potsdam menekankan bahwa semua isi dalam Deklarasi Kairo harus dilaksanakan.
Karl Pilning mengatakan, pada saat ini yakni 70 tahun setelah pemubulikasian Deklarasi Kairo, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe berupaya mengubah Konstitusi Perdamaian Jepang. Ahli Jerman menyebut tindakan Shinzo itu sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap Deklarasi Kairo dan Proklamasi Potsdam. Kedua dokumen tersebut menetapkan bahwa harus mengakhiri militerisme Jepang secara tuntas, dan Jepang tidak boleh memiliki pasukan tempur. Pasal ke-9 Konstitusi Jepang menetapkan bahwa Jepang untuk selama-lamanya melepaskan hak untuk melancarkan perang, atau mengancam penggunaan kekuatan militer dalam penyelesaian konflik internasional. Akan tetapi, Shinzo Abe bersikeras untuk mengubah ketetapan pasal ke-9 Konstitusi Jepang, dengan harapan dapat kembali meningkatkan kekuatan militer Jepang. Tindakan itu nyata sekali melanggar semangat dalam Deklarasi Kairo, sekaligus sabotase terhadap orde internasional dan perdamaian dunia pasca perang.
Karl Pilning menunjukkan bahwa para penjahat perang Jerman diadili di pengadilan Nuremberg. Jerman telah melakukan introspeksi mendalam terhadap kejahatannya dalam Perang Dunia II. Sebaliknya, kaum penjahat perang Jepang bukan semuanya menerima pengadilan yang serius setelah Jepang menyerahkan diri. Amerika Serikat juga tidak berbuat apa-apa terhadap hal itu karena membutuhkan bantuan Jepang dalam Perang Korea, sehingga Jepang sejak lama bersikap tidak benar terhadap sejarah agresinya.
Pada akhirnya Karl Pilning mengatakan bahwa Deklarasi Kairo telah meletakkan dasar bagi order internasional pasca perang. Order itu pantang disangkal. Jepang harus menaati Deklarasi Kairo dan Proklamasi Potsdam untuk memperbaiki hubungannya dengan Tiongkok.