Turki akan mengadakan referendum mengenai reformasi sistem presidensial pada tanggal 16 April mendatang. Akhir-akhir ini, pejabat pemerintah serta anggota Partai Keadilan dan Pembangunan Turki masing-masing menuju ke sejumlah negara Eropa untuk memobilisasikan warga Turki di sana agar mengikuti referendum kali ini. Aksi Turki di Eropa itu semakin sulit setelah Belanda dan Swiss menolak menlunya memasuki wilayah kedua negara tersebut.
Mengenai halangan yang dilakukan secara berulang-ulang oleh negara Eropa, pemerintah Turki mengecam tindakan Jerman bagaikan "aksi Nazi", dan menuding Jerman memberikan "dengan kejam" dukungan kepada teroris. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengklaim pemerintah Belanda sebagai "sisa-sisa Nazi dan kaum fasis". Ia juga menambahkan, "Belanda akan menanggung akibatnya dan akhirnya akan memahami apa itu diplomasi". Wakil Perdana Menteri Turki Numan Kurtulmus juga mengecam kelakuan negara-negara Eropa termasuk Belanda tidak jauh berbeda dengan Nazi, dan ia menyampaikan kekhawatiran terhadap masa depan Eropa. Saat ini Jerman, Belanda, Austria dan Perancis mengecam keras pernyataan dari pihak Turki. Kanselir Jerman Angela Merkel menyatakan, pihaknya mengecam pernyataan Turki yang menyebut Jerman dan Belanda sebagai Nazi, dan pihaknya akan dengan tegas mendukung Belanda. Calon presiden Partai Republik Prancis François Fillon mengatakan, dalam pergolakan diplomatik Turki belakangan ini, Prancis berdiri di barisan yang sama dengan sekutu Eropa lainnya.
Opini umum berpendapat, pejabat Turki terus ditolak di Eropa karena sejumlah negara Eropa termasuk Prrancis dan Belanda akan mengadakan pemilu, maka sejumlah elit politik mengambil sikap negatif terhadap imigran. Hal ini dilakukan demi menuruti keinginan partai sayap kanan serta pemberi suaranya, yang mana telah dianggap "benar secara politis"
Selain itu, Turki terus memberlakukan status darurat setelah gagalnya kudeta pada tahun lalu. Akibatnya puluhan ribu pegawai nasional dipecat ataupun ditangkap, ratusan badan media dan lembaga penerbit ditutupi. Hal ini mendatangkan kritik dari kalangan politik Eropa terhadap status HAM Turki, sehingga parlemen Eropa meluluskan resolusi yang meminta pembekuan sementara perundingan mengenai bergabungnya Turki dalam UE pada akhir tahun lalu. Apalagi pemerintah Turki mendekatkan diri dengan Rusia di bidang diplomasi, negara-negara Eropa telah mulai membentuk benteng terhadap aksi politik pemerintah Turki di Eropa.
Namun, pada dasarnya kerja sama antara Turki dan UE masih belum runtuh. Diberitakan belum lama ini PM Turki telah menerima undangan pembicaraan dari PM Belanda. Bagi Turki pemeliharaan kerja sama ekonomi Turki-UE sangat penting. UE juga tidak dapat meninggalkan Turki dalam pemecahan masalah pengungsi dan ancaman terorisme. Eropa dan Turki yang berbeda agama, kebudayan dan sejarah akan terus menghadapi perselisihan dalam masalah sistem presidensial, dan konfrontasi antara kedua pihak masih akan berlanjut.