Kamis, 3 November 2011, hari kedua menjejakkan kaki di kota Kashgar, Xinjiang, sejak pagi-pagi saya merasakan tubuh begitu menggigil. Tentu biasa dibayangkan karena suhu udara di Kashgar berkitar antara 2-4 derajat celcius kala siang hari. Luar biasa! Sungguh berbeda dengan suhu di Jakarta, tempat saya tinggal. Pada bulan-bulan sekarang suhu di Jakarta biasanya berkisar 33 derajat celcius. Selalu berkeringat dan kepanasan. Tetapi sepagi Kamis tadi, saya harus membalut tubuh dengan jaket tebal yang hangat. untunglah angin di Kashgar tidak bertiup kencang, bahkan nyaris tiada embuasan angin. Untung pula karena matahari pagi yang memancarkan vahayanya bisa membuat tubuh agat terasa hangat.
Sesuai jadwal, hari itu, saya bersama tim rombongan wartawan dari Indonesia dan Malaysia yang diundang China Radio International seksi Bahasa Indonesia, akan berkunjung ke Masjid Idkah dan kawasan pasar kerajinan, tak jauh dari tempat kami menginap di Hotel Tianyuan. Berjalan-jalan mengeliling kawasan pasar, membuat tubuh makin terasa menggigil. Pipi dan tangan terasa membeku. Pagi itu belum terlalu ramai. Toko-toko baru mulai buka, mulai pedangan makanan, pakaian, karpet, barang-barang kerajinan tangan, hingga peralatan senjata tajam seperti pisau.
Melihat-melihat di sepanjang pasar, terasa agak lumayan setelah berjalan sekitar 1,5 kilometer. Langkah kaki itumembantu tubuh agak hangat. Namun, tetap saja rasa dingin tak bisa dikalahkan. Saya pun makin menutup tubuh rapat-rapat, membalut syal di leher, dan menutup kepala, agar telinga dan leher tidak terlalu kedinginan.
Tubuh mulai terasa hangat ketika memasuki restoran Miran. Saya mulai mencopot tutu kepala dan membuka sedikit resluiting jaket. Seperti restoran di mana pun di Kashgar, menu kambing atau domba tentu menjadi hidangan utama. Ah, saya tak membayangkan, setiap jadwal makan tiba, selalu dihidangkan dengan menu kambing atau domba. Ya, ini Kashgar, ketika kambing menjadi menu utama. Padahal saya bukan penikmat kambing atau domba. Biasanya, kalau pun makan sate kambing, mungkin hanya dua atau tiga tusuk. Pasti tidak lebih.
Buat saya, makan kambing tidak baik buat kesehatan, terutama mnereka yang memiliki kolesterol tinggi dan darah tinggi. Biasanya setelah makan sate, saya langsung tersugesti kepala pening-pening. Tetapi di Kashgar, rasanya tidak mudah menghindar dari menu kambing. Ada sate, nasi goreng kambing, sop kambing, dan sejenisnya yang selalu dihidangkan bersama daging kambing. Akhirnya, saya terpaksa mencicipi kembali potongan daging kambing. Kata orang sih, daging kambing bisa menghangatkan atau memanaskan tubuh. Kata orang, khasiat daging kambing akan terasa pas palagi di tengah udara kota Kashgar yang dingin. Mungkin saja benar, tetapi mungkin juga keliru.
Ketika menu terakhir martabak isi kambing dihidangkan di meja oleh perempuan pelayan yang orang Uygur, saya terpaksa menolaknya. Saya tidak ingin kambing Kashgar akan berpengaruh negatif terhadap tubuh saya. Kali ini saya menyerah. Saya tidak ingin lagi menyantap daging kambing. Biarlah saya memilih menikmati tubuh menggigil kedinginan di Kashgar daripada harus menyantap daging kambing lagi……