Tahun 2015, Eropa dihadapkan pada gelombang pengungsi terbesar sejak Perang Dunia II. Berbeda dengan keadaan sebelumnya, gelombang pengungsi kali ini utamanya adalah pengungsi perang dari daerah Timur Tengah dan Afrika Utara. Pengungsi yang membanjiri Eropa itu tidak saja mendatangkan masalah ekonomi dan sosial kepada Eropa, namun juga menimbulkan perselisihan dan perdebatan besar di Eropa. Eropa sedang menghadapi tantangan serius dalam menanggapi krisis pengungsi.
Dikarenakan situasi di daerah Timur Tengah dan Afrika Utara termasuk Suriah dan Lybia terus bergolak, dan organisasi ekstrim ISIS terus merajalela serta kebangkitan kembali Taliban Afghanistan pada tahun ini, maka sejumlah besar warga di daerah tersebut terpaksa melarikan diri dari kampung halamannya. Sedangkan Eropa sudah menjadi tempat tujuan para pengungsi oleh karena letak geografi yang dekat, kesejahteraan yang baik serta kebebasan berpindah di dalam kawasan Schengen.
Menurut statistik terbaru Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), terhitung sampai tanggal 21 Desember, jumlah pengungsi dan imigran yang melewati Laut Tengah dan rute darat ke Eropa untuk mencari perlindungan pada tahun 2015 telah melampaui 1 juta, merupakan 5 kali dari angka tahun lalu. Seiring dengan penyeberangan ilegal sejumlah besar pengungsi ke Eropa, insiden tenggelamnya kapal imigran terus terjadi. Menurut statistik IOM dan Badan Pengungsi PBB (UNHCR), di bagian laut Timur saja, setiap harinya rata-rata terdapat 7 pengungsi tewas.